Aceh Development Board. Edisi Juli 2009 |
Kerusakan lingkungan atau degradasi lingkungan merupakan sebuah isu panas
dalam pembangunan. Berbagai disrupsi dalam usaha penyejahteraan masyarakat bersumber
pada menurunnya kualitas lingkungan dalam menyediakan jasanya terhadap manusia.
Karena itu isu lingkungan ini sudah menjadi prioritas penanganan agar
pembangunan berlangsung secara efektif.
Pengarus-utamaan (mainstreaming)
isu lingkungan dalam pembangunan dimulai oleh apa yang disebut Komisi Bruntland
(1983). Komisi ini memperkenalkan sebuah istilah pembangunan berkelanjutan, sustainable development, yang menjadi
salah satu konsep yang paling banyak disebut oleh praktisi pembangunan sejak
saat itu. Konsep dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan masa sekarang seharusnya tidak
menyebabkan hilang/rusaknya sumber daya yang diperlukan oleh generasi masa datang.
Dari konsep ini lahir sebuah adagium bahwa dunia ini bukanlah warisan nenek
moyang melainkan titipan untuk anak cucu.
Sejalan dengan hal diatas, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
mengadvokasi pembangunan berkelanjutan dengan melahirkan agenda 21 melalui
sebuah konferensi bumi (UNCED – United
Nation Conference on Environment and Earth)
di Rio de Janeiro, Brazil pada tanggal 14 Juni 1992. Kemudian satu
dekade setelahnya, Konferensi Bumi kedua dilaksanakan di Johannesburg, Afrika
Selatan, 27 Agustus 2002. Konferensi Bumi kedua ini atau lebih dikenal dengan World Summit on Sustainable Development
(WSSD) mempertegas komitmen PBB untuk melaksanakan agenda 21 maupun mendukung
pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDGs) dimana salah satu tujuan adalah memastikan
kelestarian lingkungan hidup (tujuan ke-tujuh). Tak ingin ketinggalan,
Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Gubernur Irwandy Yusuf telah mengadopsi
sebuah visi baru, green vision,
dimana konsep pembangunan berkelanjutan menjadi isu sentral dari visi
pemerintah pasca MOU Helsinki dan perdamaian.
Namun demikian, kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Benua es
kutub utara dan selatan mengalami penyusutan yang ditandai dengan mencairnya dinding/tebing
es akibat peningkatan suhu global. Di Indonesia, laju penurunan luas hutan
akibat penebangan mencapai 2 juta ha per tahun atau
sekitar 1 lapangan bola per detik. Di Aceh, beberapa fenonema alam juga
telah menunjukkan keparahan kerusakan lingkungan. Sebut saja, banjir bandang di
Aceh Tamiang pada akhir 2006, banjir dan tanah longsor yang terjadi hampir
merata hingga kasus ie mirah
(eutrofikasi) yang pernah terjadi di pesisir Lhokseumawe di tahun 2007.
Aspek Sosial dari Kerusakan
Lingkungan.
Terhadap kerusakan di dunia, Al Quran menyebutkan bahwa “ Telah nyata kerusakan di darat maupun di
laut akibat tangan-tangan manusia. Supaya Allah merasakan kepada manusia akibat
dari perbuatan dengan tujuan agar manusia dapat kembali ke jalan yang benar”.
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bahwa kerusakan lingkungan
merupakan akibat dari proses sosial atau kegiatan manusia dalam perjalanan
hidupnya. Seorang ahli lingkungan Perancis Jacques Weber membenarkan kontribusi
proses sosial yang signifikan terhadap penurunan kualitas lingkungan. Weber
membuat premise” La gestion environnementale n'est pas une question de
rapport des hommes avec la nature mais une question de rapport entre les hommes
à propos de la nature”, yang mempunyai arti bahwa sebenarnya
mengelola lingkungan lebih pada bagaimana mengelola hubungan antar manusia
(proses sosial) dalam memandang atau memanfaatkan lingkungan.
Sebut saja permasalahan lingkungan yang sangat aktual,
pembangunan infrastruktur atau jalan di kawasan hutan. Para aktivis lingkungan
merupakan pihak yang menentang pembangunan tersebut karena khawatir terhadap
ekses dari keberadaan jalan akan
memudahkan terjadinya pembalakan liar (illegal logging). Sedangkan pihak yang
mendukung beralasan bahwa pembangunan jalan akan membuka isolasi daerah dan
mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan. Jika kita tilik lebih dalam, permasalahan
tidak terletak pada hutan ataupun jalan sebagai bagian dari entitas lingkungan.
Permasalahan yang timbul adalah dikarenakan perilaku sosial (masyarakat) dalam
memanfaat potensi ekonomi hutan dan lemahnya institusi sosial (peraturan dan
penegakannya) dalam mengatur hubungan antar berbagai pihak yang terkait dengan
hutan dan jalan seperti penebang hutan, petani, masyarakat daerah pedalaman,
aparat penegak hukum dan lain sebagainya.
Perspektif
Sosial terhadap Pencegahan Kerusakan Lingkungan.
Berdasarkan pemahaman bahwa akar permasalahan lingkungan adalah
permasalahan sosial, sudah selayaknya tindakan pencegahan dan rehabilitasi
direncanakan dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyarakatan. Apabila
dilihat dari modal dasar, Provinsi Aceh mempunyai kekuatan sosial atau social capital dalam menangani masalah
ini. Secara turun temurun, rakyat Aceh telah melakoni kehidupan yang berkaitan
dengan eksploitasi sumber daya alam secara harmonis dan berkelanjutan melalui
tatanan sosial seperti keujruen blang, adat uteun, adat seuneubok, hukom adat laot dan lain sebagainya. Institusi-institusi sosial
semacam ini perlu direvitalisasi guna pengelolaan lingkungan secara
berkelanjutan.
Namun konflik yang berkepanjangan telah memberi
kontribusi akan hancurnya ikatan sosial (social
bonding). Kemudian diperparah dengan globalisasi yang ditandai dengan
terbukanya informasi terhadap potensi ekonomi komoditas tertentu sehingga
terjadi eksploitasi secara serampangan tanpa ada pencegahan secara sosial (social control). Tercapainya perdamaian
di Aceh memberikan peluang untuk menata kembali konstelasi sosial masyarakat
Aceh dengan merevitalisasi atau menghidupkan kembali tatanan sosial sebagaimana
disebut diatas.
Untuk itu, pendekatan di sisi penawaran dan permintaan
harus dilakukan secara paralel. Di sisi permintaan (demand side approach), program pendidikan dan sosialiasai merupakan
strategi yang dianggap jitu guna menumbuhkan kebutuhan akan lingkungan yang sehat
dan yang dapat memberikan jasanya untuk kemashlahatan masyarakat. Kemudian di
sisi penawaran (supply side approach),
pemerintah harus memberikan insentif bagi masyarakat. Ini sesuai dengan salah
satu prinsip ekonomi, people respond to
incentives” (bahwa manusia melakukan sesuatu karena ada imbalan). Anggaran
reguler dan dana BKPG (Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong) perlu dialokasikan
untuk revitalisasi institusi sosial melalui pemberdayaan masyarakat. Hal lain
yang perlu dilakukan adalah dengan memanfaatkan komitmen global seperti
mekanisme carbon trade dan clean development mechanism (CDM) serta corporate social responsibility (CSR) bagi kesejahteraan masyarakat
yang menjadikan sumber daya alam sebagai mata pencaharian utama. Pemerintah
seharusnya mengadvokasi masyarakat guna mendapatkan insentif dari mekanisme
tersebut sehingga kompensasi yang didapat digunakan untuk kemakmuran tanpa
memberikan tekanan yang berlebihan kepada lingkungan sebagai sumber mata pencaharian
masyarakat. Untuk kerusakan lingkungan skala besar yang dilaksanakan secara
lebih terorganisir, pengelolaan harus menggunakan institusi sosial yang lebih
rumit seperti UU atau Qanun serta penegakan hukum yang tegas. Selain mengatur
perilaku pemanfaatan lingkungan, institusi sosial ini juga harus menjamin ruang bagi masyarkat
untuk ikut mengawasi atau mensomasi pelaku kerusakan.
Apabila institusi sosial , di tingkat komunitas dan
negara seperti kearifan lokal , reusam, qanun dan peraturan perundangan-undangan
lainnya, bisa berjalan dengan efektif. Pembangunan berkelanjutan akan menjadi
sebuah kenyataan dan Visi Hijau Pemerintah Aceh bisa membumi di Bumoe Seuramoe
Meukah. Insya Allah.