Dalam kata sambutan peresmian jalan tol pertama di Aceh ruas Banda Aceh-Sigli Seksi 4 (25/08/2020), Presiden Jokowi berharap Aceh menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi baru di Sumatera. Kata “episentrum” lazim digunakan di bidang geologi kegempaan. Ia berarti titik di permukaan bumi yang posisinya tegak lurus dengan titik sumber gempa (hiposentrum). Semakin dekat dengan hiposentrum atau epicentrum, maka getaran gempa semakin besar terasa.
Jika dianalogikan pada perekonomian, episentrum ekonomi mempunyai arti titik atau daerah yang memiliki kekuatan getaran ekonomi yang besar. Jika dalam kegempaan, getaran diukur dengan Skala Richter atau MMI, Besarnya getaran ekonomi di sekitar episentrum diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau total nilai tambah yang diproduksi Aceh sebagai titik episentrum.
PDRB mempunyai mempunyai 17 sektor yang terkoneksi dalam sebuah rantai nilai hulu dan hilir. Koneksi antar sektor dan terjadinya pertambahan nilai berujung pada peningkatan total ouput ekonomi Aceh. Koneksi pertambahan nilai ini disebut dengan hilirisasi. Sebagai contoh, sektor kelautan dan perikanan Aceh menghasilkan banyak ikan bernilai tinggi, kemudian mendorong industri pengolahan ikan untuk menciptakan nilai tambah lebih tinggi. Ketersediaan ikan dan produk olahan ikan akan melahirkan aktivitas perdagangan dalam negeri maupun luar negeri (ekspor) dan juga menyediakan kesempatan ekonomi baru di sektor jasa seperti pendidikan berbasis kelautan perikanan hingga jasa pembiayaan kelautan dan perikanan. Sepanjang proses hilirisasi ini akan diperoleh akumulasi nilai tambah yang akan menambah total output ekonomi (rupiah) sekaligus menyerap tenaga kerja yang dapat berimplikasi pada pengurangan angka kemiskinan.
Hilirisasi sebagai proses dan episentrum sebagai outcome tidak terjadi dengan sendirinya. Hilirisasi atau pertambahan nilai dilakukan oleh swasta atau pelaku usaha. Sebagai konsekuensi logis dari keinginan untuk menjadikan Aceh sebagai episentrum, maka usaha atau perusahaan harus ada dan dirangsang untuk ada di setiap rantai nilai komoditas atau sumber daya. Karena itu, kemudahan berusaha atau ease of doing business(EoDB) di Aceh harus menjadi fokus utama Pemerintah Aceh dalam membangun episentrum ekonomi.
Reformasi Struktural
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah reformasi struktural. Reformasi ini berkaitan dengan perubahan cara kerja pemerintah dalam mendorong kepastian dan kemudahan berusaha. Paradigma supply-driven yang berorientasi pada serapan belanja perlu dirubah menjadi berbasis outcome, atau demand-driven.
Regulasi perlu dibuat untuk memaksimalkan kepastian dan kemudahan bagi tumbuhnya usaha. Untuk ini, komunikasi yang intens antara pengambil kebijakan dan pengusaha perlu dilakukan secara berkala dalam suasana yang egaliter dan berorientasi pada pengembangan ekonomi secara demokratis.
Bentuk kepastian yang dibutuhkan oleh usaha adalah lahan. Lahan masih menjadi kendala bagi tumbuh usaha atau investasi di Aceh seperti dalam kasus investasi Pabrik Semen di Laweung. Bahkan, di lahan milik pemerintah pun masih ditemui keluhan dari usaha atau investor terkait kepastian jangka waktu pemanfaatan sehingga para usahawan merasa pasti dan yakin untuk memulai usaha.
Selanjutnya, kebutuhan biaya berusaha juga perlu dipastikan. Biaya tidak resmi dari praktik premanisme atau pungutan liar dari pihak yang tidak bertanggung jawab perlu ditiadakan atau diminimalkan. Bagi pengusaha, ketidakpastian lebih menakutkan dari pada biaya mahal dalam mengambil keputusan bisnis. Ketidakpastian membuat pengusaha tidak berani mengambil keputusan sedang biaya mahal dapat diperhitungkan dan dibandingkan dengan potensi laba sehingga keputusan dapat dilakukan oleh pengusaha.
Selain itu, kejelasan tahapan, kewenangan hingga kepastian waktu perizinan penting untuk mendukung kemudahan berusaha di Aceh. Sering untuk melakukan reformasi struktural diperlukan deregulasi yang dapat berupa merevisi peraturan yang sudah ada atau membuat peraturan yang belum ada dengan tujuan untuk mendorong kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha dan juga menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyat.
Efisiensi Ekonomi
Secara umum, motivasi dari pelaku usaha adalah maksimalisasi profit. Meski saat ini sudah berkembang varian baru dari pengusaha yang disebut social entrepreneur, yang mengabungkan profit dan dampak sosial sebagai tujuan berusaha. Profit merupakan hal krusial dan menentukan keberlanjutan dari usaha tersebut. Faktor yang paling menentukan profit adalah efisiensi.
Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas akan meningkatkan efisiensi, baik dari sisi biaya logistic maupun biaya input. Kehadiran jalan tol yang terkoneksi dengan ruas jalan provinsi yang menghubungkan sentra produksi di seluruh kabupaten/kota di Aceh hingga pelabuhan dan bandara akan menyebabkan ongkos transportasi turun dan mendorong efisiensi. Begitu juga ketersediaan listrik dan air bersih akan menghemat ongkos produksi.
Saat ini ada infrastuktur krusial yang diperlukan secara mantap, yaitu infrastruktur telekomunikasi atau digital. Digitalisasi hilirisasi atau sering disebut dengan Industri 4.0 menuntut infrastruktur digital hingga ke gampong jika kita ingin memastikan usaha di tingkat pelosok ikut dalam ekonomi yang saling terkait.
Faktor efisiensi selanjutnya yang perlu diadakan adalah skala ekonomi dan ketersediaan bahan baku dan produk baik secara kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Hal ini berkaitan dengan kapasitas produksi dari pelaku usaha di rantai nilai sebelumnya. Sebuah industri akan efisien dibangun apabila bahan baku tersedia memenuhi skala ekonomi dari kapasitas produksi industri tersebut. Karena itu, peningkatan produktifitas menjadi mutlak dipastikan. Peningkatan produktifitas ini dilakukan melalui penguasaan teknologi, peningkatan etos dan keterampilan teknis pekerja hingga penguatan modal sosial dan kelembagaan terutama dalam hal berkerjasama dalam meningkatkan produksi.
Salah satu cara untuk dapat meningkatkan produktifitas adalah melalui penciptaan aglomerasi produksi barang dan jasa atau membangun sentra/kawasan. Sebuah sentra atau Kawasan mengumpulkan beberapa unit produksi baik itu bekerja sama atau bahkan berkompetisi secara sehat hingga saling belajar (spillover) terkait metodologi atau teknologi baru yang dapat meningkatkan kapasitas produksi barang dan jasa di wilayah tersebut.
Reformasi struktural yang menghasilkan kualitas regulasi dan layanan Pemerintah yang memudahkan berusaha, ketersediaan infrastruktur yang mantap dan produktifitas sumber daya manusia akan menciptakan ekosistem usaha yang lengkap dan saling mendukung sehingga setiap benih usaha yang tumbuh akan cepat berkembang dan produktif. Beragam usaha yang berkembang di sepanjang rantai nilai ekonomi ini akan menambah nilai dan total ekonomi (PDRB) sehingga Aceh sebagai episentrum ekonomi baru di Sumatera adalah keniscayaan.
Sebagai catatan akhir, skenario diatas hanya dapat terwujud apabila didukung sistem politik yang inklusif dan berorientasi jangka panjang. Interaksi dan soliditas positif antar komponen politik eksekutif, legislatif dan yudikatif yang didukung oleh rakyat yang aktif dan terinformasi, akibat tata kelola pemerintahan yang baik (akuntabilitas dan transparansi), merupakan enabler atau pemampu skenario Aceh sebagai episentrum ekonomi baru terwujud. Wallahu a’lam.