Rabu, 03 Juni 2020

Memahami Data Investasi

Calculation Data Financial Investment Market Flat Icon Gree ...Harian Serambi Indonesia (11/03/2020) memberitakan capaian pertumbuhan investasi di Aceh di tahun 2019 meningkat drastis. Pertumbuhan yang luar biasa tersebut disambut beragam oleh berbagai pihak. Ada yang menyambut optimis ditengah harapan memacu ekonomi Aceh, namun tak kurang juga menganggap capaian tersebut  sebagai bagian dari “pencitraan”. Berbagai kolom opini di media massa baik cetak maupun online memuat tulisan terkait dengan investasi paska rilis capaian investasi diatas. Belum lagi kicauan hingga “nyinyiran” beberapa pihak di media sosial.  

Menghitung pertumbuhan investasi merupakan sesuatu yang sederhana. Siswa Sekolah Dasar pun sudah diajarkan prinsip perhitungan pertumbuhan. Hanya dua variabel yang dibutuhkan, yaitu angka investasi tahun yang dihitung dan tahun sebelumnya. Jika ingin menghitung pertumbuhan investasi di tahun 2019, maka data yang diperlukan adalah nilai investasi tahun 2019 dan tahun 2018. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah dari mana data realisasi investasi itu diperoleh?

Realisasi investasi di Indonesia diperoleh dari laporan kegiatan penanaman modal atau sering disebut dengan LKPM. Undang-Undang RI No, 25 Tahun 2017 tentang Penanaman Modal mewajibkan setiap penanam modal untuk membuat LKPM. Lebih lanjut, tata cara penyampaian LKPM diatur dengan Peraturan BKPM Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal.

Catatan realisasi investasi sebagaimana disebutkan diatas adalah murni angka realisasi investasi yang dilaporkan oleh investor melalui sistem daring dan bersifat nasional. Realisasi tersebut dipublikasi sebanyak 4 kali setahun. Data realisasi penanaman modal di Aceh juga dilaporkan oleh investor dan menjadi salah satu informasi publik yang dapat secara mudah diakses melalui link https://dpmptsp.acehprov.go.id/id/info-publik/ppid/.  Dari tautan tersebut diperoleh bahwa total realisasi investasi dalam negeri dan asing, di Aceh pada tahun 2019 dan 2018 adalah masing-masing sebesar Rp. 5,86 Trilyun dan Rp. 1,28 Trilyun. Dari kedua data tersebut,  dapat ditentukan pertumbuhan investasi di Aceh pada tahun 2019 naik 4,5 kali lipat dari tahun 2018 atau sekitar 358 persen. Tentunya jika para pengamat atau peminat investasi dapat memahami data investasi ini, tentunya anggapan capaian investasi sebagai  pencitraan otomatis terbantahkan.

Apakah kita merasa puas dengan capaian tersebut? Dari sisi perbaikan kinerja, capaian investasi ini perlu diapresiasi dan seharusnya menambah kepercayaan diri untuk dapat lebih baik. Tapi capaian tersebut tidak seharusnya membuat puas diri (complacency). Secara relatif, capaian realisasi penanaman modal di Aceh masih menempati urutan 24 untuk PMDN dan 25 untuk PMA dari 34 provinsi se-Indonesia di tahun 2019. Posisi ini menyiratkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menempatkan Aceh sebagai destinasi investasi utama di Indonesia.

LKPM memberikan informasi lain, selain nominal realisasi investasi, yang dapat digunakan untuk memahami permasalahan investasi secara lebih komprehensif. LKPM memberikan informasi terkait sektor/bidang usaha investasi, lokasi investasi, serapan tenaga kerja hingga jenis investasi yang dilakukan.  Informasi bidang usaha investasi dapat menjadi indikator dari apakah usaha menjaring investor sudah berdampak atau berkontribusi dengan agenda pembangunan Aceh secara lebih makro. Misalnya, periode 2017-2022 merupakan periode yang diarahkankan agar perekonomian Aceh berbasis pada sektor manufaktur yang berbasis pada sumber daya alam. Jika dilihat dari data LKPM, sebaran terbesar dari investasi di Aceh pada tahun 2019 berada di sektor  pengadaan listrik yang kemudian diikuti oleh sektor industri pengolahan dan pertanian masing-masing sebesar Rp. 1,89 Trilyun, Rp. 1,4 Trilyun dan Rp. 1.02 Trilyun.

Dari sebaran diatas, terlihat bahwa ada konsistensi dengan agenda pembangunan Aceh. LKPM juga memberikan insight lebih dalam lagi jika kita melihat sub-sektor industri pengolahan apa saja yang diminati oleh penanaman modal di Aceh. Industri pupuk dan minyak kelapa sawit merupakan kontributor terbesar. Ini memberikan implikasi bahwa komoditas unggulan lainnya harus dibenahi agar ada kegiatan penanaman modal sehingga pertambahan nilai komoditas tersebut dapat dilakukan.

Rekaman data lokasi akan memberikan informasi apakah ada ketimpangan wilayah dalam perspektif investasi. Dari data tersebut, juga terlihat ada ketimpangan investasi dimana 60 persen lebih total realisasi investasi berada di 5 kabupaten, yaitu Aceh Utara, Aceh Besar, Nagan Raya, Bireuen dan Aceh Barat. Sebaran penanaman modal ini juga menjadi proxy terkait keadaan daya saing investasi antar wilayah tersebut sehingga dapat dirumukan kebijakan yang meningkatkan daya tarik penanaman modal di masing-masing daerah.

Data laporan kegiatan penanaman modal memberikan gambaran intenal kondisi investasi di Aceh. Selain itu, juga perlu dipelajari insight lain seperti pengalaman baik sebuah daerah dalam hal menarik investasi untuk menjadi masukan bagi perbaikan kebijakan penanaman modal.  Bank Dunia melalui Global Investment Competitiveness Report (GICR) 2017-2018 melakukan survey terhadap 754 eksekutif dari perusahaan multinasional tentang faktor penentu dalam memutuskan investasi di sebuah negara. Hasil survey tersebut menunjukkan banyak faktor seperti stabilitas politik, keamanan, ketersediaan SDM dan infrastruktur yang memadai hingga jaminan lahan yang clear and clean.

Faktor-faktor tersebut diatas hanya bisa disediakan jika semua pihak di sebuah daerah tersebut bersinergi secara positif. Ini juga berarti agar Aceh menjadi destinasi investasi, provinsi ini memerlukan sistem perpolitikan yang sinergis namun tetap kritis. Media massa sebagai saluran pembentuk opini/persepsi publik dan investor juga perlu memastikan agar diskursus publik berkarakter mencerahkan, tidak memihak dan berbasis fakta.  Disamping itu, intervensi pemerintah untuk mengadakan faktor lainnya juga harus dilakukan secara berkualitas dan cepat. 

Dengan data realisasi investasi yang tersedia secara transparans, mudah dan detail, seharusnya mendorong diskursus kebijakan di Aceh, dalam hal ini investasi akan lebih ilmiah dan berbasis data, tidak berbasis prejudice atau sentimen. Pemerintah memang memerlukan kritik konstruktif yang berbasis fakta untuk memastikan keluaran kebijakan tetap on-the-track menuju kesejahteraan rakyat. Namun, kritik negatif yang sumir data hanya akan menyuburkan kesalah-pahaman dan menguras kepercayaan rakyat ke Pemerintah hingga berujung pada apatisme yang pada gilirannya akan menyulitkan terciptanya dampak pembangunan yang baik.