Senin, 07 Agustus 2017

Industry 4.0 dan Penyiapan Tenaga Kerja

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh mengamanatkan bahwa periode pembangunan ekonomi Aceh pada kurun waktu 2017-2022 yang dipiloti oleh Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Nova Iriansyah mempunyai basis ekonomi yang mulai bertumpu pada industri manufaktur. Prioritas atau penekanan industri manufaktur secara berkesinambungan dihantar oleh  periode pembangunan Aceh sebelumnya dibawah kepemimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakkir Manaf dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe dan 2 Sertifikat Hak Pengusahaan Lain (HPL) bagi dua kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan industri yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Lampulo dan Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong. Penerbitan dokumen diatas menjadi modal bagi Pemerintah Aceh untuk menarik investasi skala menengah dan besar untuk membangun basis produksi manufaktur di Aceh.

Skenario industri manufaktur diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi Aceh yang lebih tinggi melalui backward linkage yang kuat berupa permintaan bahan baku industri yang berasal dari produksi masyarakat Aceh  dan penyerapan tenaga kerja dengan produktifitas lebih tinggi yang lebih masif. Optimisme skenario  industri ini juga dibangun atas kenyataan posisi geo-ekonomi dan geo-strategis Aceh yang berada pada lintasan perdagangan terpadat di dunia yaitu Selat Malaka.  Kemudian, Nanggroe ini juga berada diantara dua negara besar yang disebut-sebut sebagai emerging giant economies yaitu Tiongkok dan India sehingga Aceh mempunyai keuntungan komparatif untuk menjadi salah satu hub bagi kegiatan ekonomi yang disebut dengan rantai nilai global (Global Value Chain).

Inisiatif ekonomi internasional  makin memberikan nilai strategis Aceh seperti komitmen Pemerintah Tiongkok dalam merevitalisasi jalur-jalur perdagangan Tiongkok dengan dunia luar yang disebut dengan OBOR (One Belt One Road). Presiden Xi Jinping pada pembukaan KTT OBOR Mai yang lalu di Beijing mengatakan bahwa Pemerintah China akan menggelontorkan investasi sebesar US$ 113 Milyar Dolar untuk pembangunan jalan, jembatan, pipa gas, pelabuhan, rel kereta api dan pembangkit listrik di daerah sekitar jalur perdagangan tersebut. Jalur sutra laut yang direncanakan mulai dari Guangzhou Pesisir China hingga Afrika Timur dan berakhir di Venice melewati Laut Mediterania. Aceh berada pada lintasan ekonomi perdagangan tersebut.

Industry 4.0

Namun bukan namanya dinamika pembangunan, jika skenario dan asumsi terkait peluang dan tantangan yang tertulis dalam dokumen perencanaan pembangunan akan selalu persis dihadapi pada tahap pelaksanaan, termasuk pengembangan industri manufaktur.  Para ahli industri saat ini mengatakan bahwa dunia industri sudah memasuki revolusi industri ke-empat yang disebut Industry 4.0.

Revolusi Industri pertama ditandai dengan ditemukan mesin uap oleh James Watt di Inggris pada abad ke-17. Revolusi kedua terjadi pada saat Henry Ford menemukan cara baru untuk menghasilkan produk, yang disebut dengan mass production atau produksi massal. Penemuan ini meningkatkan produktifitas industry otomotif menjadi delapan kali. Revolusi selanjutnya dimulai ketika ditemukan Programmable Logic Controller (PLC) di tahun 1968 yang memungkinkan otomasi dilakukan pada proses industri.  Revolusi Industri ke-empat merupakan kelanjutan dari revolusi ke-3 dengan perbedaan bahwa ukuran PLC menjadi lebih kecil, mampu menyerap tugas yang lebih banyak hingga dapat melakukan pembelajaran mandiri (machine learning) melalui sensor atau alat-alat input lainnya sehingga kualitas produk akan lebih baik dan proses industri dapat berjalan lebih cepat dan efisien.   

Industri 4.0 dapat menyebabkan pembalikan tren relokasi industri dari negara maju ke negara berkembang yang mempunyai upah pekerja lebih rendah (offshoring) menjadi nearshoring dimana industri akan kembali ke negara maju atau berada dekat dengan konsumen. Pembalikan ini dimungkinkan karena faktor upah menjadi tidak relevan akibat pabrik-pabrik menjadi lebih otomatis (smart factories). Manusia pekerja  digantikan oleh robot pekerja yang dapat berpikir, bekerja cepat dan dapat diandalkan melalui kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan Internet of things (IoTs)sehingga perbaikan kualitas produk dapat dilakukan secara otomatis.

Kesiapan Tenaga Kerja Aceh

Meskipun Industry 4.0 tidak serta merta akan merubah lansekap industry manufaktur secara drastis dalam waktu pendek, beberapa hal perlu dipersiapkan agar pengembangan industri manufaktur di Aceh menjadi relevan dan berdaya saing. Keunggulan komparatif seperti letak geografis atau ketersediaan bahan baku menjadi tidak signifikan untuk meningkatkan daya saing dan mengekalkan industri manufaktur berada di Aceh. Penyiapan tenaga kerja menjadi penting dan mendesak karena Industri 4.0 akan menggantikan pekerja manusia dengan robot pekerja cerdas. Namun demikian, Industri 4.0 juga memerlukan jenis pekerjaan yang baru. Sebagai antisipasi, kebutuhan pekerjaan baru ini perlu dijawab oleh Pemerintah Aceh.

World Economic Forum (WEF) pada Januari 2016 mengeluarkan laporan yang bertajuk “ The Future of Jobs”. Laporan ini memprediksi bahwa pekerjaan-pekerjaan yang banyak hilang adalah pekerjaan seperti administrasi perkantoran, manufaktur dan produksi, konstruksi dan ekstraksi serta instalasi. Sedangkan kebutuhan pekerjaan baru adalah dibidang bisnis dan keuangan, manajemen, komputer, matematika, teknik dan arsitektur dan pendidikan dan pelatihan.  Menariknya menurut laporan tersebut, pekerjaan masa depan lebih membutuhkan kecerdasan emosional daripada keterampilan teknis karena akan tergantikan dengan robot.

Diantara rekomendasi yang diberikan oleh laporan tersebut adalah perlunya investasi pada pelatihan (re-tooling) tenaga kerja yang ada saat ini dan kolaborasi dunia pendidikan dan industri untuk menyiapkan kurikulum pendidikan.  Implikasi terhadap penyiapan tenaga kerja di Aceh diantaranya berupa re-orientasi pusat-pusat pelatihan tenaga kerja seperti Balai Latihan Kerja (BLK). Ketimbang selalu melatih jahit-menjahit atau instalasi Komputer, BLK perlu memikirkan pelatihan yang bersifat mengasah dan meningkatkan kemampuan kecerdasan dan kreatifitas tenaga kerja seperti fashion design dan pemograman aplikasi komputer (coding).  Disamping pelatihan kemampuan inti tersebut, kurikulum BLK juga perlu memasukkan kemampuan penunjang seperti kewirausahaan, social skills hingga penggunaan teknologi untuk pemasaran.

Dari sisi pendidikan dasar dan menengah, pengenalan terhadap pemograman komputer, robotik,  dan penguatan kurikulum mata pelajaran Iptek, matematika dan rekayasa serta seni perlu dilakukan mengingat kebutuhan tenaga kerja masa depan adalah pekerjaan yang menitikberatkan pada kreatifitas dan inovasi. Bahkan  sebagai usaha jangka panjang, pendidikan orang tua (parenting education) perlu juga diperkuat agar pembinaan atau penyiapan generasi dengan kondisi kecerdasan emosional tinggi terjamin.

Jika re-orientasi penyiapan SDM atau tenaga kerja pada periode 2017-2022 diarahkan pada penciptaan tenaga kerja yang kreatif dan inovatif sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja di era industry 4.0, maka ia secara otomatis akan memudahkan transisi pembangunan Aceh pada period ke-4 sebagaimana diamanatkan oleh RPJP Aceh, yaitu pembangunan ekonomi yang berbasis pada pengetahuan (knowledge based economy)

Note : 
Diterbitkan pada kolom Opini Tabloid Tabangun Aceh Edisi 66-Juli 2017