Sabtu, 09 Agustus 2014

Membangun Konektivitas Aceh

http://sourcepool.net/solutions/connectivity/custom-connectivity
Dua setengah abad yang lalu, Adam Smith menulis sebuah pengamatannya tentang efek positif  dari keberadaan infrastruktur transportasi seperti jalan, kanal dan sungai yang dapat dilayari terhadap mobilitas dan pemerataan kesejahteraan dalam sebuah buku yang menjadi rujukan dasar ilmu ekonomi, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation. Amatan Smith tersebut menjadi kenyataan pada saat ini. Berbagai studi empiris menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur mempunyai hubungan korelasi dengan kesejahteraan. Sebut saja penelitian Bank Dunia, The Effect of Infrastructure Development on Growth and Income Distribution , yang ditulis oleh Cesar Calderon dan Luis Serven dengan menggunakan data time series 40 tahun (1960-2000) dari 100 negara lebih menunjukkan bahwa infrastruktur konektivitas berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan dan akhirnya penurunan angka kemiskinan.

World Economic Forum menempatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur sebagai persyaratan dasar dalam menghitung indeks daya saing global (Global Competitiveness Index) sebuah negara. Kemampuan China dalam menjadi tujuan utama relokasi industri manufaktur dunia tidak terlepas dari keberhasilan Pemerintahan Tiongkok membangun infrastruktur yang terintegrasi dan kluster industri sehingga konektivitas menjadi sangat baik. Pemerintah Indonesia juga sudah menyadari bahwa saat ini persaingan global sudah memasuki persaingan antar rantai pasok (supply chain) yang dapat melibatkan beberapa negara dan rantai pasok yang efisien sangat bergantung pada kondisi konektivitas antar blok/unit produksi dan komsumsi sebagaimana tersirat dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional.

Aceh Butuh Pengelolaan Konektivitas

Aceh tidaklah terisolir dalam hal konektivitas dengan daerah lain. Namun jika dilihat dari empat isu yang mengitari konektivitas seperti rantai pasok (supply chain), rantai nilai (value chain), jaringan produksi (production network) dan logistik, maka kondisi konektivitas Aceh dapat digambarkan sebagai berikut; Pertama, aliran komoditas Aceh ditandai dengan aliran keluar komoditas mentah dan aliran masuk komoditas jadi akibat proses pertambahan nilai tidak terjadi dan menempatkan Aceh pada lapisan terendah dari jaringan produksi global. Kondisi ini diperkuat dari data neraca sistem pembayaran Bank Indonesia yang menampilkan situasi net outflow; Kedua, infrastruktur konektivitas Aceh terutama pelabuhan tidak termanfaatkan akibat skala ekonomi volume perdagangan rendah. Diyakini bahwa rendahnya skala ekonomi volume perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Aceh dikarenakan oleh belum terkonsolidasinya komoditas ekspor dan akhirnya komoditas tersebut keluar melalui pelabuhan provinsi tetangga secara sporadis dan tak tercatat.

Ketiga, masih terdapatnya disparitas harga antar daerah dalam provinsi Aceh  Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh mengumpulkan data harga komoditas pokok dan strategis dari seluruh kabupaten/kota dan menunjukkan nilai koefisien variasi harga yang relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional. Sejalan dengan hal diatas, perhitungan indeks harga konsumen (IHK) yang dilakukan Badan Pusat Statistik Aceh sebagai acuan menetapkan angka inflasi pada tiga kota acuan yaitu Banda Aceh, Lhokseumawe dan Meulaboh sering menunjukkan angka IHK yang divergen atau bervariasi. Kondisi tersebut diatas  menyiratkan kinerja konektivitas Aceh masih belum optimal.

Masterplan Konektivitas  ASEAN  menfokuskan peningkatan konektivitas pada 3 jenis konektivitas yaitu konektivitas institusi (institutional connectivity), konektivitas fisik (physical connectivity) yang meliputi transportasi, energi, teknologi informasi dan  komunikasi, dan konektivitas manusia (people-to-people connectivity) melalui kegiatan pendidikan, budaya dan pariwisata. Dengan diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015, sudah sepatutnya Pemerintah Aceh juga turut memperbaiki kondisi konektivitas di Aceh sebagai langkah konvergensi regional.

Penguatan ketiga konektivitas tersebut merupakan hal yang relevan di Aceh. Dalam satu kesempatan rapat koordinasi perencanaan bidang ekonomi di Kabupaten Bener Meriah pada medio Juni 2014, penulis mendapatkan masukan bahwa salah satu permasalahan ekonomi yang dihadapi kabupaten ini adalah rendahnya daya tawar petani hortikultura yang merupakan komoditas cepat rusak (perishable goods) dalam menentukan harga akibat informasi harga yang asimetris. Padahal apabila merujuk data harga di kabupaten/kota seluruh Aceh yang dikompilasi oleh Disperindag Aceh, terdapat disparitas harga yang tinggi antara kabupaten produsen dan kabupaten/kota pengguna. Peningkatan konektivitas institusi antara dinas atau pasar daerah produsen dan daerah pengguna yang diperkuat dengan konektivitas fisik melalui konektivitas transportasi dan teknologi informasi tentunya menyebabkan stabilitas harga komoditas pokok dan strategis, menjaga tingkat inflasi dan menurunkan angka kemiskinan.           

Konektivitas dan Koridor Ekonomi
Dalam perspektif pengembangan ekonomi, pembangunan konektivitas  dimaksudkan untuk memaksimalkan penciptaan nilai tambah seluruh sektor ekonomi melalui efesiensi rantai nilai, rantai pasok, dan logistik sebagai bagian dari jaringan produksi global sebagai respons perbaikan karakter konektivitas yang dijelaskan sebelumnya. Aceh mempunyai karakteristik geografi yang unik, berbentuk segitiga yang dibelah oleh pengunungan bukit barisan. Masing-masing kabupaten/kota mempunyai potensi ekonomi yang khas. Selain itu, terdapat juga daerah tertinggal dan relatif maju. Kondisi keberagaman ini menyebabkan tidak tepat apabila fokus pengembangan konektivitas Aceh dilakukan secara seragam. Akan lebih efisien dan efektif apabila pembangunan konektivitas Aceh juga dilakukan berdasarkan koridor ekonomi yang didasari pada potensi masing-masing koridor ekonomi.

Koridor ekonomi didefinisikan sebagai sebuah bentang geografi yang mempunyai jejaring kegiatan ekonomi yang saling terkait berdasarkan potensi koridor dan dihubungkan dengan infrastruktur yang terintegrasi, mulai dari lahan produksi hingga infrastruktur kepelabuhan. Pembangunan konektivitas dalam setiap koridor ditujukan untuk menfasilitasi terjadinya aglomerasi atau klusterisasi kegiatan penciptaan nilai tambah komoditas dan jasa unggulan koridor tersebut sekaligus mempercepat pembangunan daerah tertinggal dalam koridor (backward linkage) dan mendorong daya ekspor (forward linkage).  Selanjutnya, konektivitas antar koridor ekonomi juga perlu dijamin karena makin membuat skala ekonomi dan efesiensi rantai pasok lebih baik.

Terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan untuk membangun konektivitas Aceh. Pertama, diperlukan sinergi antar Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait kebijakan penganggaran dan regulasi lainnya. Kedua, Pemerintah Aceh perlu lebih memprioritaskan kewenangan provinsi terutama isu konektivitas antar kabupaten/koridor. Selain itu, konektivitas teknologi informasi terkait sistem informasi harga komoditas pokok dan strategis dan sistem informasi konsolidasi komoditas ekspor (e-consolidator) merupakan diantara sistem konektivitas yang perlu dirancang untuk mendorong stabilitas harga dan ekspor.    

Dengan terkoneksinya seluruh daerah, pelaku ekonomi dan masyarakat di Aceh, maka akan terjadi transfer teknologi, ide dan inovasi sehigga akan tercipta daya tarik dan daya saing ekonomi yang pada gilirannya meningkatkkan dan memeratakan kesejahteraan. Sesungguhnya membangun konektivitas Aceh merupakan manifestasi dari anjuran Rasulullah SAW lima belas abad yang lalu, untuk menyambung konektivitas kasih sayang (silaturahim) dengan salah satu manfaatnya adalah memperbanyak rizki (meningkatkan kesejahteraan)  para pelakunya. Wallahu’alam bisshawab.


Dipublikasikan di Rubrik Opini Harian Serambi Indonesia, Rabu, 27 Agustus 2014.