Selasa, 10 Juni 2014

Pandangan Ekonomi Hasan Tiro



Tulisan ini mencoba untuk mensyarah secara sederhana tentang pemikiran Wali Nanggroe Hasan Muhammad di Tiro terkait pembangunan yang tercatat dalam buku karangan beliau “Atjeh bak Mata Donya”, terutama pada bab terakhir (VII) yang bertajuk, ”Kemeurdehkaan den Keumakmuran”. Tampaknya tulisan ini menjadi relevan karena tidak lama setelah tinta perdamaian dibubuhkan, Aceh dipimpin oleh murid-murid ideologi sang wali. Sekaligus, tulisan ini diharapkan memperkaya khazanah kebijakan pembangunan Aceh dalam usaha membawa Aceh kembali pada kejayaannya.   


Hasan Tiro menyiratkan alasan dari memudarnya kejayaan Aceh berasal dari kombinasi dua keadaan. Pertama, adanya sebuah kekuatan eksternal yang secara sistemik menggerogoti sumberdaya Aceh. Kedua, merebaknya sebuah mentalitas dan pola pikir inferior di kalangan masyarakat.

Institusi Ekstraktif dan Mentalitas Budak

Sejarah mencatat bahwa puncak kejayaan Aceh berada pada masa Sultan Iskandar Muda dan kemudian perlahan kejayaan Aceh memudar. Secara bersamaan, kolonialisme Eropa mulai menyentuh kawasan sekitar Aceh, mengganggu tata niaga komoditas perdagangan dan mencaplok kedaulatan negara dengan kekuatan militer. Sejarawan pembangunan menganggap bahwa kolonialisme mempunyai peran sangat signifikan dalam membalikkan kejayaan menjadi kehinaan bagi negara jajahan, terutama di kawasan tropis. Acegmolu dan Robinson (2012) dalam bukunya “Why Nations Fail” menyebutkan tata niaga monopolistik yang dibangun oleh Belanda melalui kekuatan militer menghilangkan kesempatan bagi Aceh yang disebut sebagai city state (negara kota- hal.271) untuk bertransformasi negara yang inklusif melalui perdagangan. Kedua ekonom MIT dan Harvard tersebut menyebutkan apa yang dibangun oleh kolonialis eropa ini sebagai institusi ekstraktif.

Sebagai reaksi dari penjajahan, Aceh secara heroik melakukan perlawanan secara maraton dan tanpa kenal menyerah. Perlawanan panjang ini berimplikasi seluruh potensi dialokasikan untuk berperang. Kita ketahui, para ulama dan cendekiawan terpaksa mengalihkan waktu untuk mendidik dan menemukan pengetahuan baru kepada kegiatan fisik yang bersifat survival. Pelaku ekonomi juga menghentikan aktivitasnya baik karena patriotisme dan juga tidak adanya insentif akibat sistem monopolistik yang diberlakukan. Institusi ekstraktif menyebabkan Aceh tidak memberikan perhatian pada pengelolaan negara, perkembangan pengetahuan dan inovasi. Keruntuhan dimulai.

Hasan Tiro menyebutkan kerugian terbesar akibat peperangan tersebut adalah Aceh kehilangan kemerdekaan. Tiro memasukkan Orde Lama dan Orde Baru sebagai bagian lanjutan dari institusi ekstraktif yang menghisap sumberdaya Aceh. Sistem negara otoriter yang dibangun oleh kedua rezim tersebut menghambat dinamika politik pembangunan Aceh, mendapatkan bagian yang adil dari pengelolaan sumber daya alam  bahkan mencederai pengorbanan Aceh secara represif sehingga pasca kemerdekaan-pun Indonesia Aceh masih bergolak. Tiro menarik kesimpulan bahwa terzaliminya Aceh pasca berakhirnya perang penjajahan dikarenakan oleh sebuah mentalitas budak (lamiet) yang didera rakyat Aceh. Perang telah menyebabkan syahidnya pemimpin-pemimpin Aceh dan memutus rantai referensi (meneumat) akan sebuah identitas Aceh. Karenanya, tidak heran pada setiap buku, ceramah dan pertemuan singkat, beliau selalu memasukkan proses mindsetting (pembentukan pola pikir) bahwa individu Aceh adalah individu yang mulia dan diakui dunia.

Alumnus Universitas Columbia, New York ini menyebutkan beberapa mentalitas budak melekat masyarakat Aceh seperti nafsi-nafsi (individualis) dan peuglah putjok droe (free rider-sikap mau untung tanpa mau bersama menanggung resiko). Mentalitas budak dipercaya sebagai penghambat kemajuan. Disparitas pembangunan antara daerah utara yang lebih maju dari daerah selatan di Amerika Serikat juga dipercaya merupakan kontribusi dari mentalitas budak (slave mentality) yang belum sepenuhnya hilang. Nwosu (2013) dalam artikelnya “Slave Mentality: The Bane of Development in Africa” menyimpulkan sifat ketergantungan, kurangnya motivasi dan mudah terpengaruh menghinggapi banyak elit politik di Afrika lahir dari sebuah mentalitas budak dan menyebabkan negara-negara di Afrika terbelakang. Nwosu menceritakan bahwa banyak pemimpin Afrika masih menganggap bahwa negara-negara maju akan membantu negara mereka sedangkan kekuatan fiskal sendiri digunakan untuk kepentingan politis dan elitis, bukan investasi produktif.

Di Aceh masih sering kita dengar bahwa uang pemerintah tidak efektif digunakan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Program pemberdayaan berasal dari APBA atau APBK akan disikapi tidak serius, berbeda dengan program dari lembaga swadaya masyakat lokal maupun asing. Persepsi keliru ini cenderung membuat uang pemerintah hanya digunakan untuk hal-hal administratif atau investasi politik dan meminta lembaga donor untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang substantif dan langsung berhubungan dengan masyarakat. Apakah ini menandakan pemimpin dan masyarakat Aceh tidak percaya bahwa kekuatan diri (APBA dan APBK) cukup digunakan memakmurkan nanggroe ini? Apakah kita telah dihinggapi oleh mentalitas budak?   
             
Tironomics : Pembangunan Ekonomi Berkeadilan

Hasan Tiro mengingatkan bahwa kemakmuran akan timbul jika ada sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan yang dimaksud dalam konteks Aceh sekarang adalah pemerintah yang bebas membuat kebijakan terbaik bagi rakyatnya. Kebijakan tidak diskriminatif yang memberikan insentif untuk berinovasi dan menjadi lebih baik guna peningkatan taraf hidup. Ciri pemerintah seperti diatas merupakan cerminan institusi pemerintah yang inklusif.

Selanjutnya, Tiro menekankan bahwa kemakmuran bukanlah sesuatu yang diwariskan, tetapi merupakan hasil kerja keras dan kemampuan serta kecerdasan dalam mengelola ekonomi suatu bangsa atau daerah. Tidak ada pihak lain yang dapat membangun Aceh kecuali rakyat Aceh sendiri. Jadi, Institusi inklusif dan paradigma kemandirian merupakan prasyarat utama agar Aceh makmur. Kedua hal diatas merupakan antidote dari keterpurukan Aceh sekaligus obat yang harus ditelan untuk maju.

Frasa “ureuëng meukat han meulaba, meunjo  ureuëng  nanggroë  hana  pèng  deungon  meubloë (pedagang tidak akan untung, jika masyarakat tidak punya uang untuk membeli (hal 65, Atjeh bak Mata Donya)” menunjukkan mazhab ekonomi yang diyakini oleh Hasan Tiro. Artinya, kemakmuran Aceh yang berkelanjutan adalah apabila melibatkan semua manusia yang hidup di bumi lhee sagoe. Inilah yang disebut pembangunan yang berkualitas dan berkeadilan. Untuk menjamin hal itu terjadi Aceh perlu sebuah kesepakatan yang dijunjung bersama. Tiro menyebutnya “Achenese National Interest”. Kesepakatan ini harus dijaga oleh sebuah sistem pemerintahan yang transparans dan akuntabel sehingga memungkinkan setiap deviasi dapat dikoreksi oleh segenap rakyat.

Data dan Indikator pembangunan Aceh saat ini menunjukkan masih adanya jurang lebar antara kepentingan bersama Aceh dan realita. Angka kemiskinan menurun, namun tidak diikuti oleh perbaikan kualitas seperti indeks kedalaman dan keparahan. Ekonomi tumbuh namun tidak cukup menyediakan lapangan kerja.

Perbaikan kondisi tersebut merupakan PR bagi pemimpin Aceh terutama pemimpin yang mempunyai hubungan ideologis dengan Wali Nanggroe  untuk menggunakan Tironomics sebagai platform kebijakan ekonomi . Bagi yang bukanpun, ini merupakan jalan yang perlu diambil untuk menyejahterakan rakyat. Wallahua’lam bisshawab.