Rabu, 29 Agustus 2012

Khatam Al Quran di Negeri Injil


Inside Al-Farooq Mosque, Atlanta, USA
(source:  http://www.unbrokenhorse.com/2010/07/28/al-farooq-masjid/)




Lembayung senja menghantarkan kaki di hadapan sebuah bangunan megah, Al Farooq Mosque, yang beralamat 442, 14th Street NW, Atlanta, USA. Ramai jamaah di pelataran masjid tak seperti biasanya. Senyuman merekah disertai lantunan salam dan jabatan tangan mewarnai langkah menuju meja takjil. 3 buah kurma diatas selembar tisu putih dan segelas air menjadi menu harian iftar, mengingatkan akan kebersahajaan Rasulullah SAW dalam berbuka puasa.

Selepas shalat magrib, hadirin disuguhi serial kultum bertema syuubul imaan (cabang-cabang Iman). Pemateri kultum harian, Dr. M. Hisham Hawasli, seorang dokter spesialis jantung keturunan Syiria, menyampaikan taushiyah tentang empati.  Sepuluh menit ceramah singkat ini juga memberi waktu bagi panitia ramadhan untuk menyiapkan hidangan utama berbuka yang merupakan shadaqah dari para muhsiniin dari komunitas Islam di Atlanta.

Menu utama  hari ini adalah nasi biryani dipadu dengan chicken curry dan sayuran. Sebuah potongan chapatti berbentuk seperempat lingkaran juga nangkring diatasnya. Pertengahan Ramadhan kemarin, jamaah disuguhi nasi kuning dan kari ayam dari keluarga muslim Indonesia. Suasana makan jamaah terasa penuh persaudaraan, diselingi diskusi ringan antara saudara muslim yang berasal dari beragam negara. Tak lama kemudian, seorang lelaki paruh baya datang menghampiri, “Brothers.. we need volunteers. Please go to upper deck parking after you finish your meal”. 

Di lantai parkir masjid tampak lalu lalang kendaraan roda empat para jamaah. Ternyata pengurus masjid membutuhkan sukarela untuk mengatur parkir agar sebanyak mungkin mobil jamaah dapat berada dalam lingkungan masjid.  Ya.. malam itu adalah malam ke-27 Ramadhan sekaligus perayaan khatam Al Quran. Sebuah tradisi di Mesjid Al Farooq pada malam yang disebut-sebut paling mungkin terjadinya Lailatul Qadr. Ramainya jamaah menyerupai sesaknya shalat Jum’at plus kehadiran para muslimah.

Bacaan surah dalam shalat tarawih diawali dengan surat Al Insyirah dan diakhiri dengan An-Naas. Setelah witir, jamaah merapatkan diri kedepan menuju iman dengan formasi melingkar. Serupa posisi para jama’ah tabligh ketika mendengar bayan. Seketika nuansa keterikatan hati dan kekhusyukan merebak. Isak tangis dan guncangan bahu bersahut-sahutan ketika Imam membacakan doa dalam bahasa arab dan inggris. Isak tangis makin membahana ketika lampu dipadamkan untuk memberikan kesempatan para jamaah memohon secara pribadi kepada Allah SWT. Lima menit kemudian, lampu kembali dihidupkan dan para jamaah bangkit untuk menyalami dan berpelukan mengucapkan doa dan ucapan selamat. Mata sembab tak mengurangi keceriaan dan ketulusan saudara muslim kepada sesamanya.

Sungguh pengalaman spiritual yang akan terus membuat rindu. Meskipun sebenarnya episode ini terjadi di sebuah tempat di Amerika Serikat yang dikenal sebagai salah satu the capital of bible-belt. Atlanta merupakan kota metropolitan terbesar ke-9 di Amerika Serikat. Ia adalah tempat lahir Dr. Martin Luther King Jr, seorang pendeta yang memperjuangkan hak sipil kaum Afro-Amerika dimana pada sebelum tahun 1960 penduduk kulit hitam masih dianggap sebagai manusia kelas dua. Kota ini bersama dengan kota-kota lainnya di bagian selatan dan tenggara Amerika Serikat dikenal dengan kota relijius yang ditandai dengan tingkat partisipasi kaum kristiani dalam acara kegerejaan lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Menjadi minoritas dan tidak tersedianya dukungan serta bantuan dalam “APBD” Atlanta membuat jamaah masjid Al Farooq sadar bahwa keberlangsungan syiar di Atlanta sangat bergantung pada militansi dan proaktifitas muslim Atlanta sendiri. Operasional syiar Islam didanai dari kantong para jamaah. Masjid Al Farooq mempunyai sekolah Islam Darrun Nur hingga tingkat SMP dan saat ini sedang membangun sebuah gymnasium agar layak membuka sekolah menengah atas. Bahkan beberapa waktu yang lalu, sebuah tempat ibadah juga dibeli untuk dijadikan sekolah hafalan Al Quran yang diberi nama Darul Ulum. Para jamaah memberikan sebagian dari pendapatannya secara reguler dan pengurus masjid menyediakan account khusus untuk beberapa jenis pengeluaran sehingga para donator dapat memilih kegiatan mana yang akan dibiayai. Pengurus masjid juga mempunyai website, channel di laman You Tube hingga akun Facebook dan Twitter sebagai media untuk menyampaikan syiar Islam. Sungguh sebuah pengelolaan syiar yang dapat memberikan inspirasi  masyarakat Aceh dalam melakukan syiar dan dakwah Islam di Nanggroe Syariat.  Wallahua’lam

Selasa, 28 Agustus 2012

Observing Ramadhan in an American City

It is the same celestial body of hydrogen and helium gas some 150 million kilometers away that illuminates both Indonesia and the US. It is the same five pillars that Muslims in Indonesia and the US follow. 

But because of their geographic locations, sunlight strikes Indonesia with a greater intensity than it does the US. And because of their environments, the Ramadhan experiences of Muslims in Indonesia and the US are quite different.

“I was used to going door-to-door, greeting neighbors and spending time with family,” Marthunis recalled of how he celebrated the post-fasting month holiday known as Lebaran back home in Banda Aceh. 

Yet when he moved to downtown Atlanta, Georgia, he was in for some surprises.

There were no conveniently located prayer rooms, women in headscarves and calls to prayer. 

In the US, only a small fraction of the population is Muslim (the US census does not collect data based on religion, so a precise number is not known). A drive through the suburbs of Atlanta takes one past churches, pawn shops and fast food restaurants — which have as many halal choices as they have extra-terrestrial visitors, which is to 
say, none.

“If you look around, you wouldn’t know that it was Ramadhan,” Arif, who grew up in Surabaya, said. 

The largest advertisement for Ramadhan is probably the one scribbled on a cardboard sign advertising a discount on Turkish dates. 

Despite that, both Marthunis and Arif find that Americans are welcoming, understanding and even curious about Ramadhan. 

“Once we explained why we were abstaining from food and drink,” Arif said, “people were immediately respectful.” 

Awareness of Ramadhan is increasing, especially in cities like Atlanta, which have a large population of Muslims from Pakistan, Saudi Arabia, Ethiopia, Somalia and Bangladesh.

“I remember coming home from the mosque one night, and an older gentleman greeted us from his garage with a warm, ‘Happy Ramadhan’!” said Marthinus. 

He and Arif are just two of the hundreds who choose to break their fast outside of the Al-Farooq Mosque in Atlanta. The Al-Farooq Mosque reflects the diversity of Muslims in the US. 

It wouldn’t be surprising to see women in shimmering green shalwar kameez from Pakistan conversing with women in bright embroidered dresses from Ethiopia. 

Nor would anyone think twice about the diverse outfits of the men — varying from baggy jeans and pressed slacks to the flowing white thobes of Saudi Arabia. This blending of cultures is an intrinsic aspect of life for Muslims in the US.

Catering to these communities are a range of restaurants and butchers offering halal options. 

“But outside of Atlanta, I’m often a vegetarian or pescatarian,” Marthunis laughed, reflecting on his meals of vegetables and fish in cities without other halal options. 

Since many of these Muslims grew up in Muslim countries, one wonders what effect being a minority in the US has on them — where veils and traditional garb can attract unwanted attention, and where media reports rarely highlight peaceful Muslims. 

As these Muslims in Atlanta break their fast with pink drinks of sweet Rooh Afza mixed with cold milk, do they long for the celebratory spirit and festivities that sweep through Muslim countries? 

Do they miss eating meat without needing to inquire if it is halal? Or do these inconveniences pale in comparison to the financial opportunities and personal freedoms they now experience? These are the questions Muslims in the US must face — on their own.

Source: The Jakarta Post, August 13, 2012
http://www.thejakartapost.com/news/2012/08/13/observing-ramadhan-american-city.html

Kamis, 02 Agustus 2012

Melirik Pajak Rokok Aceh


Dengan penerimaan pajak sebesar itu,  Pemerintah Aceh mampu menutupi kebutuhan anggaran tahunan jaminan kesehatan Aceh (JKA) yang pada tahun 2012 dianggarkan sebesar Rp. 400 Milyar. Jumlah tersebut mampu membangun waduk sebesar hampir 2 kali waduk keliling per tahun atau setiap 2 tahun Aceh bisa membangun satu pembangkit listrik tenaga panas bumi Seulawah yang kabarnya membutuhkan dana sekitar 56 Juta Euro (Rp. 672 Milyar)."    

Satu hari setelah pelantikan, Gubernur Zaini Abdullah melakukan gebrakan dengan mengintruksikan larangan merokok di Kantor Gubernur Aceh (Serambi Indonesia, 27 Juni 2012). Larangan ini ternyata meluas ke seluruh instansi Pemerintah Aceh melalui Surat Edaran Gubernur  tentang larangan merokok dalam ruangan kerja dan gedung kantor tertanggal 5 Juli 2012.

Dampak negatif dari merokok sudah diketahui oleh banyak pihak.  Tidak kurang dari 25 jenis penyakit disebabkan oleh kegiatan merokok. Selain permasalahan kesehatan, merokok juga erat kaitan dengan kemiskinan. Survei Sosial Ekonomi Nasional mencatat bahwa tiga dari empat keluarga miskin mengalokasikan anggaran untuk rokok. Jika diibaratkan anggaran rumah tangga adalah investasi, pengeluaran untuk bahan makanan dan pendidikan mempunyai manfaat meningkatkan kapasitas keluarga miskin untuk bekerja dan keluar dari garis kemiskinan, pengeluaran untuk merokok malah menurunkan kapasitas tersebut. Alhasil, rokok adalah salah satu bentuk dari perangkap kemiskinan. BPS Aceh dalam release-nya juga mengindikasikan bahwa rokok berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan (SI, 3 Juli 2012).

Para pembela rokok berargumen bahwa pelarangan rokok akan menyebabkan hilangnya pendapatan negara dari cukai  dan ribuan pekerjaan. Pendapatan negara dari cukai rokok tahun 2011 mencapai Rp. 77 Trilyun. Sebuah angka yang fantastis. Namun jika dibandingkan  dengan peningkatan biaya kesehatan masyarakat per tahun sebesar Rp. 81 Trilyun (TCSC IAKMI-UI),  maka sebenarnya Pemerintah membuang uang demi rokok.  Dari sisi serapan tenaga kerja, pertanian tembakau  dan industri rokok hanya menempati peringkat 30 dan 48 dari 66 sektor (Lembaga Demografi UI, 2007). Belum lagi berkah cukai rokok hanya dinikmati langsung oleh daerah penghasil tembakau dan industri rokok seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan daerah perokok berat seperti Aceh lebih mendapatkan asap rokok dan efek negatif lainnya.

Besarnya kemudharatan daripada kemashlahatan sebenarnya sudah cukup syarat memasukkan rokok dalam kelompok khamar. Tetapi mengingat kebiasaan merokok yang melekat di masyarakat kita, pentahapan dan “pemakruhan” rokok mungkin menjadi lebih relevan sebagai awal pelarangan merokok. Makruh dalam terminologi Islam adalah sesuatu perbuatan yang didorong untuk ditinggalkan. Untuk itu Pemerintah Aceh perlu mencari kebijakan untuk menurunkan komsumsi rokok.

Pajak sebagai Instrumen Anti-Rokok

Tujuan utama dari pajak biasanya adalah untuk meningkatkan penerimaan pemerintah. Namun pajak dapat juga dapat dijadikan alat untuk mempengaruhi perilaku masyarakat.  Pajak rokok merupakan salah satu bentuk instrumen fiskal untuk mengurangi komsumsi rokok. Manfaat pajak rokok ini menjadi ganda. Di satu sisi menambah pendapatan, di sisi lain mengurangi minat masyarakat untuk membeli rokok karena lebih mahal.

Secara payung hukum, Aceh memiliki keabsahan jika ingin menerapkan pajak rokok. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menempatkan rokok sebagai objek pajak provinsi. Semestinya kesempatan ini bisa terus ditindaklanjuti sebagai bagian kebijakan penguatan fiskal dan kebijakan kesehatan Aceh.

Media OnlineThe Globe Journal pernah menurunkan berita pada pertengahan 2010 tentang penjualan produk rokok PT. HM Sampoerna. Perusahaan rokok ini merupakan penyuplai utama rokok nasional dengan pangsa pasar 29.1 persen dari total penjualan rokok. Sampoerna sendiri mencatat bahwa ia berhasil menjual 29 juta batang per minggu di Aceh. Jika ini benar adanya, bisa dihitung bahwa total penjualan rokok di Aceh untuk seluruh merek menjadi kira-kira 100 juta batang per minggu atau 5.2 milyar batang per tahun. Jika satu bungkus rokok berisi 12 batang dan dikenakan pajak rokok sebesar Rp. 1000 per bungkus, maka potensi penerimaan pajak rokok Aceh pertahun mencapai Rp. 433 Milyar.

Dengan penerimaan pajak sebesar itu,  Pemerintah Aceh mampu menutupi kebutuhan anggaran tahunan jaminan kesehatan Aceh (JKA) yang pada tahun 2012 dianggarkan sebesar Rp. 400 Milyar. Jumlah tersebut mampu membangun waduk sebesar hampir 2 kali waduk keliling per tahun atau setiap 2 tahun Aceh bisa membangun satu pembangkit listrik tenaga panas bumi Seulawah yang kabarnya membutuhkan dana sekitar 56 Juta Euro (Rp. 672 Milyar).     

Terkait dengan efek pajak rokok terhadap penurunan komsumsi rokok sangat tergantung dari elastisitas permintaan rokok. Sebuah laporan “Tobacco Economics in Indonesia” menyebutkan untuk Indonesia setiap kenaikan harga rokok sebesar 10 persen akan menurunkan komsumsi sebesar 2.9 hingga 6.7 persen. Elastisitas ini akan lebih tinggi seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Karenanya penggunaan pajak untuk mengurangi komsumsi rokok akan efektif dan akan lebih efektif lagi jika pendapatan pajak rokok digunakan untuk peningkatan tingkat pendidikan, kesehatan dan perekonomian masyarakat.

Boomerang Pajak Rokok

Kenaikan harga rokok belum tentu selalu menurunkan komsumsi rokok. Bagi perokok berat atau yang sudah mengalami kecanduan, permintaan rokok menjadi tidak elastis. Ia seakan menjadi kebutuhan pokok setelah beras. Penerapan pajak untuk konsumen seperti ini tentunya akan berdampak pada pengeluaran yang lebih besar untuk rokok. Hal ini lebih parah untuk perokok yang berasal dari keluarga miskin. Untuk itu, instrumen pajak hendaknya bukanlah satu-satunya cara yang harus ditempuh. Pemerintah perlu melakukan kebijakan non-pajak lainnya seperti promosi, rehabilitasi dan bentuk insentif lainnya.

Pengenaan pajak rokok di Aceh tentunya akan menyebabkan harga jual rokok lebih tinggi. Kondisi ini bisa menjadi motivasi kegiatan illegal penyeludupan rokok dari luar daerah yang menberlakukan pajak rokok lebih rendah atau tidak ada pajak sama sekali. Jika ini tidak diantisipasi, rokok illegal dengan harga murah akan marak di pasaran dan perilaku merokok tidak akan berubah. Untuk kemungkinan skenario ini, Pemerintah perlu melakukan kerjasama dengan daerah tetangga untuk menyelaraskan kebijakan rokok ini, selain penegakan hukum seperti razia pasar.

Pajak rokok juga membutuhkan sistem administrasi penerimaan yang solid. Yang paling mudah adalah mengutip langsung dari distributor/sub distributor sebelum dikirim ke pasar. Namun tantangannya adalah lebih rentan terhadap penyeludupan. Alternatif lain adalah mengutip langsung dari penjual (sales tax). Cara ini mengurangi pengurangan pendapatan dari penyeludupan namun sangat besar ongkos administasinya mengingat banyak sekali outlet penjualan rokok di pasaran. Belum lagi mengontrol agar tidak terjadi kongkalikong antara petugas pemungut dan penjual.



Kiranya kebijakan pengurangan komsumsi rokok  Aceh perlu segera dilakukan. Selain  dari sisi kesehatan dan ekonomi, pengurangan bahkan pengharaman rokok juga merupakan isu syariah. Pajak rokok merupakan salah satu cara yang harus dicoba. Semoga kebijakan ini dapat membebaskan asap rokok dari udara Aceh dan menggantikannya dengan kepulan asap dari dapur kesejahteraan. Insya Allah. 

Apa Kabar RPJP Aceh 2005-2025?


Hampir dua tahun waktu berlalu dari penyelesaian rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh Periode 2005-2025. Pihak Eksekutif melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) telah menyerahkan dokumen tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada akhir tahun 2010 untuk memasuki proses pen-qanun-an sesuai dengan amanah UU N0. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.  Namun hingga saat ini pihak legislatif belum selesai membahas panitia kerja terkait dengan proses legislasi dari rencana pembangunan ini.

Mungkin menjadi pertanyaan banyak pihak mengapa rencana pembangunan jangka panjang yang mempunyai rentang waktu dari tahun 2005 baru dimulai penyusunannya pada tahun 2010. Hal ini terkait dengan terabaikannya perencanaan jangka panjang akibat krusial dan besarnya dinamika kehidupan saat itu. Tsunami yang diikuti oleh proses perdamaian menuntut fokus pembangunan pada perspektif yang lebih pendek; yaitu bagaimana membangun kembali Aceh lebih baik dalam waktu 4 tahun serta mengawal proses perdamaian secara hati-hati sehingga tidak terjadi gejolak yang dapat membawa Aceh kembali menjadi daerah konflik.

Sekarang kondisi Aceh sudah kondusif. Rekonstruksi, rehabilitasi dan reintegrasi berjalan dengan sukses.  Terpilihnya Pemimpin Aceh “Zikir” dipercaya menambah stabilitas Aceh yang merupakan prasyarat utama bagi proses pembangunan. Karena itu sudah saatnya kini Aceh lebih memberi prioritas kepada kepentingan jangka panjang diatas kepentingan jangka pendek. Termasuk didalamnya adalah penyelesaian proses legislasi RPJP Aceh sehingga dapat menjadi rujukan bagi perencanaan dengan horizon waktu yang lebih pendek yaitu RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan RKP (Rencana Kerja Pemerintah).

Sekilas tentang Penyusunan RPJP Aceh

Penyusunan RPJP Aceh berangkat dari optimisme yang berasal dari proses perdamaian dan rekonstruksi Aceh. Keduanya dimulai pada tahun 2005, yang merupakan turning point atau titik balik bagi Aceh untuk kembali menanjak maju menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Optimisme ini didasari pada kepercayaan bahwa kejayaan Aceh pada Abad 16 dapat diulang dengan mereplikasi prinsip-prinsip yang menyangga kejayaan tersebut melalui kebijakan-kebijakan pembangunan yang efektif.

Secara teologis, proses penyusunan RPJP  mengambil inspirasi dari Surat Ibrahim Ayat 24-25 dimana RPJP Aceh disusun untuk menjadi sebuah dokumen yang baik dengan kriteria mempunyai akar yang teguh (berdasarkan keadaan dan permasalahan yang nyata dihadapi rakyat Aceh); mempunyai cabang yang menjulang hingga ke langit (mempunyai cita-cita pembangunan yang visioner dan dapat dicapai dengan segala potensi) dan menghasilkan buah pada setiap musimnya (menggunakan pentahapan pembangunan dan indikator pencapaian pembangunan pada setiap tahapannya).   

Agar dapat memetakan masalah pembangunan yang riil, pihak eksekutif membentuk sebuah tim yang beranggotakan mulai dari mantan gubernur, ulama, cendikiawan, lembaga internasional hingga aktivitis sipil yang terlibat langsung dengan keseharian masyarakat. Inklusifitas tim penyusun ini ditujukan untuk menidentifir permasalahan secara holistik dan mensinergikan berbagai usulan intervensi pembangunan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Proses penyusunan juga membuka saluran-saluran partisipasi melalui email, sms gateway yang dipublikasikan melalui sebuah tabloid pembangunan daerah “Tabangun Aceh” yang beredar di seluruh Aceh setiap bulan hingga audiensi dengan pihak-pihak elemen sipil yang berkeinginan untuk berkontribusi. Kemudian dalam rangka penyerapan aspirasi masyarakat secara lebih luas, hasil rancangan RPJP Aceh diuji publik tidak hanya di Banda Aceh, namun juga di tiga kota lainnya yaitu Lhokseumawe, Takengon dan Meulaboh sebagai representasi geografis Aceh. Uji publik ini bertujuan untuk mensinkronkan keinginan masyarakat luas dengan tujuan yang tertera dalam dokumen sekaligus sebagai konfirmasi kebenaran dari data dan permasalahan.

Visi pembangunan jangka panjang Aceh adalah Aceh yang islami, maju, damai dan sejahtera pada tahun 2025. Pelaksanaan syariah Islam secara kaffah akan seiring dengan terwujudknya peradaban yang tinggi dimana kebutuhan sosial, politik, ekonomi dan rasa aman dapat terpenuhi.  Untuk meraih visi tersebut, RPJP Aceh menetapkan enam misi utama yaitu mewujudkan masyarakat yang ;  1). berakhlak mulia berdasarkan nilai Islami,  2). mampu memenuhi kebutuhan hidup dalam aspek ekonomi, sosial dan spiritual, 3). demokratis berlandaskan hukum, 4). aman, damai dan bersatu, 4). mewujudkan pembangunan yang berkualitas, maju, adil dan merata, dan 6). mewujudkan Aceh yang lestari dan tangguh terhadap bencana.    Visi dan keenam misi diatas akan menjadi rujukan utama dan kemudian dijabarkan dalam bentuk arah, kebijakan, program dan kegiatan dalam dokumen perencanaan  dengan jangka lebih pendek ( lima tahun dan tahunan).

Dalam rentang waktu 20 tahun, pentahapan pembangunan dibagi atas 4 bagian. Pembangunan tahap I (2005-2012) mempunyai fokus pada penyelesaian permasalahan rekonstruksi, rehabilitasi dan reintegrasi Aceh. Kerangka waktu 7 tahun (dibanding 5 tahun sebagaimana RPJP Nasional) ditetapkan berdasarkan realitas di lapangan yaitu kerangka waktu selesainya proses rekonstruksi dan reintegrasi yang selesai pada tahun 2012. Selain itu, periode pemerintah juga berakhir pada tahun 2012 sehingga pentahapan di RPJP Aceh selanjutnya dapat diterjemahkan dalam rencana pembangunan jangka menengah Aceh. Pembangunan tahap II (2013-2017) dititikberatkan pada pembangunan agroindustri mengingat hampir separuh penduduk Aceh bermata pencaharian di ranah pertanian. Selanjutnya pembangunan tahap III (2018-2022) memberi tekanan pada pengembangan industri manufaktur sebagai lanjutan tahap industrialiasi Aceh. Akhirnya, pada tahap ke empat (2023-2025) pemerintah Aceh lebih memprioritas dalam menjadikan Aceh sebagai kawasan perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy/society).

Pentahapan pembangunan ini dipengaruhi oleh pentahapan ekonomi ala Rostow. Dipilih pentahapan yang lebih berbasis ekonomi didasari pada kemudahan untuk menggunakan tolok ukur kemajuan atau keberhasilan pembangunan. Tentunya pemilihan ini tidak mengabaikan kemajuan di sisi agama, politik dan sosial dan budaya. RPJP Aceh menganggap bahwa keberhasilan ekonomi membutukan keberhasilan agama, politik sosial dan budaya atau disebut dengan institusi.  Kemudian, pentahapan tidak harus dilihat secara kaku. Misalnya, bisa saja industri pertanian masih menjadi dominan pada saat pentahapan pembangunan ketiga dimana pemerintah menfokuskan pada industri manufaktur. Pentahapan yang dimaksud adalah peran pemerintah lebih dominan pada industri fokus dimasing tahap dan berakhirnya tahap diharapkan industri tersebut dapat berjalan mandiri tanpa ada bantuan pemerintah dan pemerintah beranjak pada penguatan fokus pembangunan di tahap selanjutnya.

Jika kita analogikan pembangunan Aceh sebagai perkembangan anak, maka akhir tahap pertama (pasca tsunami dan perdamaian tahun 2012) si anak lulus sekolah dasar, tahap kedua si anak memasuki sekolah menengah pertama, tahap ketiga menjalani sekolah menengah atas dan tahap keempat si anak memasuki bangku kuliah dimana kemandirian, pengetahuan dan intelektual menjadi ciri kehidupan perguruan tinggi. Untuk itu, harus diusahakan agar si anak tidak tinggal kelas sehingga si anak secara tepat waktu dapat tumbuh mandiri dan mengembangkan potensinya lebih baik lagi. Dalam konteks ini, perencanaan jangkat menengah dan tahunan menjadi penting untuk menjamin pembangunan Aceh tidak jalan ditempat atau tinggal kelas yang berujung pada tertundanya atau tidak terwujudnya pencapaian visi Aceh pada 2025.