Senin, 28 Mei 2012

Membuat Aceh Bekerja


Kondisi ketenagakerjaan Februari 2012 di Aceh dilaporkan tidak terlalu menggembirakan. Berita Resmi Statistik BPS Aceh (7 Mei 2012) menyebutkan terjadi penambahan pengangguran sebanyak 15,4 ribu orang dan tingkat pengangguran terbuka dicatat 7,87 persen. Angka terakhir ini meningkat dari periode Agustus 2011 yang hanya 7.43 persen. Peningkatan tingkat pengangguran mungkin disebabkan oleh efek musiman dari pekerjaan di sektor pertanian yang menjadi penyerap lebih separuh tenaga kerja Aceh. Jika dilihat rekaman tingkat pengangguran Aceh secara tahunan -meskipun menurun-  kecenderungannya menyiratkan kekhawatiran. Jurang tingkat pengangguran antara Aceh dan rerata nasional makin menganga lebar. Laporan Perkembangan Ekonomi Aceh edisi November 2011 mencatat selisih antara tingkat pengangguran Aceh dan Nasional pada tahun 2007, 2009 dan 2011  berturut-turut adalah 0,5 ; 1,2 dan 1,5 (lihat grafik). Tren ini menyimpulkan terjadi perlambatan penurunan tingkat pengangguran di Aceh relatif terhadap nasional.    


Dari sudut pandang ekonomi, pengangguran adalah sebuah kemubaziran. Berbagai potensi sumber daya alam (kapital) tidak bernilai tambah ekonomi karena sumber daya manusia tidak berkerja. Dari sisi sosial, pengangguran juga merupakan faktor utama dari ketidak-bahagiaan. Stiglitz, Sen dan Fitoussi (2009) dalam laporan “Measurementof Economic Performance and Social Progress” menyebutkan pekerjaan sangat berkorelasi positif dengan kualitas hidup karena ia memberikan identitas diri dan kepercayaan diri dalam pergaulan sosial. Penganggur dilaporkan juga lebih sering dilanda kesedihan dan stress. Makin lama berada dalam kondisi pengangguran, akan menyebabkan kehilangan kapasitas dan motivasi untuk berkerja sehingga nantinya orang yang menganggur dapat menjadi beban bahkan penyakit masyarakat.  Begitu pentingnya permasalahan ketenagakerjaan ini menjadi raison d’etre dari tulisan ini. Bagaimana mempercepat turunnya angka pengangguran di Aceh?

Pasar Tenaga Kerja
Ada perbedaan yang mendasar antara pasar barang/komoditas dengan pasar tenaga kerja. Jika di pasar komoditas biasa, yang menjadi pembeli ada masyarakat umum sedangkan dalam pasar tenaga kerja  masyarakat umum menjadi penjual tenaga kerja sedangkan pembeli tenaga kerja adalah perusahaan atau pemberi kerja. Perbedaan ini membutuhkan strategi tersendiri untuk memaksimalkan masyarakat yang berada dalam angkatan kerja terserap oleh pasar tenaga kerja.

Secara umum, ada tiga komponen penting yang mempengaruhi ketenagakerjaan, yaitu upah, pekerja dan pemberi kerja. Upah merupakan sebuah titik temu antara kesepakatan pekerja dan pemberi kerja/perusahaan terkait dengan pekerjaan. Makin tinggi upah yang diminta oleh pekerja, makin sedikit pekerjaan yang dapat diberikan oleh perusahaan. Tingginya upah dapat membuat perusahaan beralih ke pasar tenaga kerja lain yang mempunyai upah yang rendah. BPS mencatat upah minimum regional (UMR) Aceh, Sumatera Utara dan Jawa Timur pada tahun 2011 berturut-turut adalah Rp. 1.350.000,- ; Rp. 1.035.000,- dan Rp. 705.000,-. Tingkat pengangguran pada Februari 2011 di masing-masing provinsi tersebut adalah 8,27 persen; 7,18 persen dan 4,18 persen. Data BPS diatas mungkin menjadi salah satu penjelasan mengapa tingkat pengangguran di Aceh masih diatas rerata nasional mengingat UMR Aceh menempati urutan tertinggi ketiga setelah Papua dan Papua Barat.  

Selain upah yang tinggi, pengangguran yang tinggi dapat juga dikarenakan oleh  pekerja yang tersedia tidak sesuai dengan pekerjaan. Ketidaktersediaan kompetensi di suatu daerah dapat menjadi dis-insentif bagi investor untuk mendirikan usaha yang dapat menjadi sumber pekerjaan. Di sisi lain, ketidaksesuaian kompentesi dan pekerjaan akan menyebabkan produktifitas yang rendah yang akhirnya membuat perusahaan merugi dan hengkang ke tempat dimana produktifitas pekerjanya lebih tinggi. Menurunnya industri migas Aceh dan belum tumbuhnya industri non-migas lainnya memberikan tekanan pada sisi demand. Realisasi investasi yang relatif rendah juga menyebabkan banyak tenaga kerja tidak terserap sehingga pengangguran menjadi tinggi. Diantara ketiga komponen tersebut, kiranya rendahnya demand atau pemberi kerja di Aceh merupakan permasalahan utama yang perlu diselesaikan. Rumitnya, permasalahan demand ini terkait erat dengan kedua permasalahan sebelumnya yaitu upah dan kualitas pekerja.  

Kebijakan Ketenagakerjaan
Adalah tidaklah bijak bagi Pemerintah Aceh untuk menurunkan UMR sebagai respons tunggal untuk menarik lebih banyak perusahaan ke Aceh. Penetapan UMR adalah berdasarkan kalkulasi biaya hidup secara wajar di Aceh. Karenanya penurunan UMR harus disertai menurunkan biaya hidup di Aceh. Sudah dimaklumi bersama bahwa harga komoditas di Aceh banyak yang lebih mahal dibanding daerah lain, contohnya daging sapi. Bahkan mantan Gubernur Irwandy Yusuf pernah mengatakan bahwa harga daging sapi di Aceh adalah yang tertinggi di dunia. Pemerintah perlu mengusahakan efesiensi biaya dan pengendalian inflasi sesuai dengan mekanisme pasar. Inefesiensi dalam hal logistik maupun tata niaga perlu dikoreksi. Jika permasalahannya adalah di sisi supply maka pemerintah harus memberi insentif bagi peningkatan produktifitas komoditas. Jika pasokan komoditas cukup namun harga komoditas tetap mahal maka sistem tata niaga dan sistem logistik layak menjadi prioritas untuk dikoreksi. Permasalahan UMR akan menjadi hal yang sepele ketika pasar tenaga kerja Aceh mempunyai kualitas dan keunggulan spesifik dengan produktifitas yang tinggi.

Aceh juga perlu mempersiapkan pasokan tenaga kerja yang sesuai dengan pasar. Kejelian pemerintah dalam memahami perkembangan permintaan pasar tenaga kerja dari waktu ke waktu menentukan kebijakan yang tepat dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan. Skema link and match atau triple helix yang menghubungkan antara pemerintah, lembaga pendidikan dan pasar perlu terus ditingkatkan guna menjamin kompetensi sumber daya manusia yang dihasilkan melalui kebijakan tersebut diatas sesuai dengan permintaan. Masyarakat pun perlu diberi insentif melalui diseminasi informasi dan kebijakan lainnya sehingga termotivasi untuk mempersiapkan dirinya sebagai sumber daya manusia yang andal baik sebagai pekerja maupun pemberi kerja (entrepreneur).

Pemerintah Aceh juga perlu membuat Aceh sebagai daerah yang menguntungkan untuk berbisnis. Konflik yang dulu menjadi alasan utama hengkangnya industri di Aceh kini telah berakhir. Perdamaian dan stabilitas keamanan perlu terus dipertahankan. Selain itu, praktek pungli dan ketidakpastian hukum menjadi prioritas utama untuk dilenyapkan. Hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja harus dijamin terlaksana secara transparans dan berkeadilan. Produk hukum terkait dengan ketenagakerjaan harus menjamin kepentingan semua pihak. Ketersediaan infrastruktur yang memadai dan pekerja yang berkompeten tinggi akan membuat daya tarik Aceh semakin mempesona sebagai daerah tujuan bisnis. Selain itu, kewirausahaan perlu distimulir sehingga penciptaan lapangan pekerjaan tidak semata berasal dari investasi luar daerah namun juga organik yang berasal dari Aceh sendiri.


Apabila ketiga komponen tersebut diatas (upah, pekerja/supply dan pemberi kerja/demand) dapat dikelola dengan baik, maka pada akhirnya perusahaan atau pemberi kerja (demand) akan berbelanja di pasar tenaga kerja Aceh dan menyebabkan lebih banyak pekerja Aceh yang terserap dengan upah yang lebih tinggi. Wallahu ‘a’lam bisshawab.  

Minggu, 20 Mei 2012

Lhee Sagoe : Fokus Pembangunan Berkelanjutan Aceh


Keberlanjutan merupakan tantangan dalam teori pembangunan modern. Beranjak dari pemahaman keterbatasan sumber daya alam , para developmentalist khawatir dengan pendekatan ekstraktif yang memaksimalkan keuntungan dengan mengeruk berbagai sumber daya sebanyak-banyaknya dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Seringkali pembangunan dengan pendekatan seperti ini berakhir sedih dengan hanya mewariskan puing-puing kejayaan dan perekonomian yang stagnan. Tak perlu jauh untuk mencari contoh. Rasakan perbedaan geliat aktivitas pagi dan sore hari di daerah Blang Lancang, Lhokseumawe  pada dekade 80-an dan saat ini. Hilir mudik bis-bis sarat karyawan berseragam coverall plus sepatu dan helm safety tak sesibuk dulu. Pasar Batuphat berubah kurang bergairah. Temaram lampu ketika malam pun makin redup membuat penumpang bis patas Banda Aceh-Medan tak lagi terjaga ketika melewati kawasan industri ini. Menjelang keringnya ladang Arun, wilayah Pasee masih merupakan salah satu hotspot kemiskinan di Aceh.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Komisi Bruntland mempromosikan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan tidak menyebabkan hilangnya sumber daya yang digunakan generasi akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan menitik-beratkan pada kemashlahatan inter-temporal (antar generasi) dari kegiatan pembangunan. Meskipun demikian, konsep pembangunan ini masih global dan membutuhkan fokus-fokus kegiatan spesifik. Para ahli pembangunan kemudian membuat tiga kriteria keberlanjutan dari program-program pembangunan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Kriteria terakhir merupakan aspek yang paling banyak dipahami oleh praktisi pembangunan. Mungkin karena pembangunan berbasis sumber daya alam sangat dominan diberbagai belahan dunia  terutama negara berkembang. Lalu fokus pembangunan berkelanjutan apa yang cocok untuk Aceh?

Segitiga Fokus Pembangunan
Sebagai negeri syariah, Aceh sudah seharusnya mengambil inspirasi pembangunan dari dua sumber utama, yaitu Al Qur’an dan Al-Hadits. Begitu banyak dalil tentang pentingnya menjaga kemashlahatan inter-temporal. Rukun Iman yang kelima “percaya kepada hari akhir” menjadi bukti bahwa Islam sangat memperhatikan keberlanjutan kemashlahatan. Salah satu dalil yang secara gamblang memberi petunjuk praktis tentang keberlanjutan kemashlahatan adalah hadits Nabi yang menyatakan “Terputus amal anak adam ketika ia meninggal kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendoakan kepadanya”. Hadits ini memang secara tersurat bersifat mikro (individual), namun pemerintah perlu menjadikannya sebagai fondasi (microfoundation) bagi kebijakan makro guna menghadirkan kemashlahatan berkelanjutan yang massif di Nanggroe Darussalam ini.

Ada tiga fokus pembangunan yang dapat diterjemahkan dari hadits tersebut. Pertama adalah Infrastruktur. Shadaqah jariah berbeda dengan shadaqah yang biasa dipahami. Jariah mempunyai arti produktif, bukan komsumtif. Karena itu membangun masjid, menimbun jalan, menyediakan tikar sembahyang atau menggali sumur di ladang dianggap shadaqah jariah karena ia memudahkan untuk beraktifitas (ibadah) dan bersifat lebih kekal. Selama shadaqah itu memberikan fasilitasi bagi setiap manusia yang membutukan maka selama itu pula kemashlahatan akan terus didapat. Infrastruktur identik dengan amal jariah ini karena ia berfungsi untuk memudahkan manusia melaksanakan fungsinya. Pembangunan infrastruktur transportasi, telekomunikasi, energi dan air bersih memudahkan kegiatan rakyat Aceh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktifitas ekonomi dan sosial yang dinamis dan berkelanjutan. LaporanBank Dunia (2010) tentang diagnosis pertumbuhan Aceh menempatkan infrastruktur, terutama kelistrikan, merupakan hambatan utama dalam pembangunan ekonomi Aceh.

Fokus kedua adalah Pengetahuan dan Teknologi. Ilmu yang bermanfaat adalah pengetahuan yang diaplikasikan untuk kemashlahatan umat. Pengetahuan dan teknologi adalah padanan yang tepat. Perjalanan sejarah pembangunan di dunia memberikan gambaran jelas bagaimana negara yang mempunyai keunggulan pengetahuan dan teknologi mempunyai tingkat kemajuan lebih tinggi. Meskipun ia tidak memiliki keunggulan sumber daya alam. Peringkat negara dalam pengalokasian anggaran riset menunjukkan hubungan korelatif dengan peringkat kemakmuran. Data Bank Dunia menyebutkan Israel, Swedia dan Jerman menempati peringkat atas dalam persentase anggaran riset terhadap PDB yaitu 4,27; 3,62 dan 2,82  pada tahun 2009. Indonesia hanya mempunyai  0.08 persen jauh dibanding Korea Selatan dan Singapura yang punya 3,36 dan 2,66 persen. Sweden dan Jerman merupakan dua negara yang relatif tahan dan tidak terpengaruh oleh krisis eropa saat ini. Korea Selatan dan Singapura merupakan contoh negara Asia yang maju meskipun lebih muda usianya dari Indonesia. Contoh ekstrim adalah Israel, negara  yang menyulap gurun pasir sebagai ladang pertanian produktif dan dikelilingi oleh lingkungan geopolitik tidak ramah kepadanya dapat mempunyai kualitas hidup yang lebih tinggi bagi rakyatnya dibanding negara-negara kaya minyak disekelilingnya. Tentunya contoh ini tidak berarti membenarkan pendudukan Israel di Palestina. Namun ia menunjukkan keunggulan pengetahuan dan teknologi Israel mampu membuatnya maju serta kemudian menyihir opini dunia untuk memihak kepadanya.

Fokus ketiga adalah Manusia. Anak shalih adalah cerminan sumber daya manusia yang prima. Mencetak generasi yang tahu akan eksistensinya  di dunia dan mampu mengelola segala potensi yang tersedia di dunia sebagai khalifah merupakan sebuah keharusan. Pendidikan dan kesehatan adalah sektor utama dalam fokus pembangunan manusia ini. Investasi yang rendah dalam pendidikan dapat membahayakan kemakmuran sebuah bangsa. Amerika Serikat saat ini sangat gundah tentang permasalahan ketenagakerjaan seperti ketimpangan dan kehilangan pekerjaan akibat outsourcing terutama dibidang manufaktur ke negara lain. Goldin dan Katz (2010) dalam bukunya “The Race between Education and Technology” menyiratkan bahwa permasalahan daya saing Amerika Serikat merupakan akibat dunia pendidikan tidak cukup menyediakan sumber daya manusia yang mampu mengimbangi perkembangan teknologi. Investasi kesehatan ditujukan meningkatkan produktifitas sebagai akibat rendahnya angka kesakitan. Peningkatan produktifitas manusia melalui pendidikan dan kesehatan pada gilirannya akan memperkuat sistem sistem-sistem lainnya sehingga tercipta lingkaran malaikat (virtuous circle) yang menjamin  kemashlahatan terus dinikmati secara berkelanjutan.

Fokus pada pembangunan manusia juga dirasakan mendapatkan momentum yang tepat  saat ini. Secara struktur demografis, Indonesia sedang mengalami sebuah kesempatan yang disebut dengan demographic dividend hingga tahun 2050. Saat ini 60 persen dari populasi Indonesia berumur dibawah 30 tahun. Kantor Koordinasi Kementerian Perekonomian Indonesia menyebutkan tahun 2025 adalah tahun dimana angka ketergantungan (dependency ratio) mempunyai nilai terendah. Setiap 100 orang yang bekerja, mereka hanya menanggu 32 orang yang berada diluar angkatan kerja. Asumsinya Aceh juga mempunyai komposisi yang sama dengan nasional. Ditambah lagi, pasca tsunami dan konflik, fenomena baby boomer sangat mungkin terjadi. Ini lagi membuat investasi pendidikan dan kesehatan usia dini makin penting karena dampak kepada kemajuan secara jangka panjang sangat signifikan.        

What next?
Pembangunan lhee sagoe dengan fokus pada infrastruktur, pengetahuan/teknologi dan manusia layak menjadi pedoman Pemerintah Aceh untuk memakmurkan rakyatnya. Fokus lhee sagoe ini bukan saja teruji secara empiris namun juga merupakan tuntunan rabbani dan rekomendasi nabawi. Lebih lagi ia juga mencerminkan bentuk geografis Aceh yang berbentuk segitiga.

Namun meskipun demikian, laksana ibadah, keberhasilan pembangunan ditentukan oleh niat dan tertib pelaksanaannya. Alokasi anggaran infrastruktur, pendidikan dan kesehatan yang besar di Aceh belum tentu mendatangkan kemashlahatan apabila pembangunan dilaksanakan dengan niat mencari rente ekonomi semata yang sering disebut ‘proyek’. Akibatnya pembangunan dilakukan hanya bersifat kuantitatif tanpa kualitas dan minim keberlanjutan. Pengetahuan tentang metodologi dan tertib pelaksanaan akan menyebabkan pembangunan lebih berkualitas. Dengan kata lain, prinsip good governance sangat dibutuhkan guna menjamin hasil pembangunan berkualitas. Pembangunan segitiga fokus  dengan tata kelola yang baik dapat menghadirkan kemashlatan bukan hanya bagi kita saat ini tapi juga anak cucu di masa yang akan datang dengan terus menjaga, meningkatkan serta mengalirkan produktifitas dari ketiga fokus tersebut. Insya Allah.