Rabu, 06 Januari 2010

Aceh Green: Bukan Sekedar Hijau


Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, telah mendeklarasikan sebuah visi pembangunan berkelanjutan Aceh yang sering disebut Aceh Green Vision. Deklarasi ini dimaklumatkan dalam sebuah forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim di Bali pada akhir tahun 2007 yang lalu. Berbagai tanggapan positif menyapa kepala pemerintah provinsi paling barat Indonesia ini. Bahkan Majalah Time edisi 30 November 2009 menampilkan sebuah liputan khusus tentang Aceh terkait dengan kegiatan pemeliharaan lingkungan.

Di Aceh sendiri, beberapa langkah telah diambil pasca Aceh Green digadang-gadang menjadi visi pembangunan Aceh baru. Jeda pembalakan hutan (moratorium logging), reforestasi, pembukaan lahan sawit kelapa hingga perekrutan polisi hutan dianggap sebagai turunan dari visi Aceh Hijau tersebut. Bahkan mayoritas masyarakat menganggap untuk memperbaiki lingkungan semata dengan menanam pohon yang hijau-hijau sehingga bukanlah hal yang aneh apabila kegiatan pembangunan berkelanjutan di Aceh hanya menjadi dominasi dinas/badan yang secara nomenklatur menpunyai keterkaitan secara kasat mata dengan istilah hijau dan lingkunga seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal).

Apabila kita melihat permasalahan perubahan iklim sebagai sebuah bencana, maka reforestasi/reboisasi atau penanaman pohon merupakan sebuah langkah meningkatkan ketahanan atau resilience dari alam untuk memitigasi pemanasan global dengan menyerap karbon. Padahal bencana mempunyai satu komponen lain yaitu kejadian (hazard) yang menyebabkan sebuah bencana pemanasan global. Kejadian ini bersumber dari kegiatan yang menghasilkan gas rumah kaca (green-house gas-GHG). Karbondioksida (CO2) adalah gas rumah kaca tetapi gas rumah kaca tidak semata-mata karbondioksida. Terdapat beberapa jenis GHG lainya seperti metana dan Nitrogen Oksida (N2O) yang mempunyai efektifitas 25 dan 270 kali dari karbondioksida dalam menyebabkan pemanasan iklim. Pohon atau hutan tidak efektif menjaga temperatur bumi yang naik akibat kedua gas ini karena proses photosintesis tumbuhan hanya menyerap karbon.

Karena itu, selain memelihara hutan, Visi Aceh Green juga mengharuskan melakukan kegiatan pembangunan yang dapat menurunkan tingkat emisi GHG dalam mencegah global warming. Apabila kita menilik dari kontribusi kegiatan manusia yang terhadap perubahan iklim ( lihat diagram), maka seharusnya kegiatan pembangunan di sektor-sektor menjadi perhatian dan prioritas penerapan visi Aceh Hijau. Misalnya sektor energi/pembangkit listrik yang berkontribusi sebesar 21,3 %, perlu diprioritaskan pengembangan energi yang terbarukan seperti pembangkit tenaga panas bumi (geothermal), tenaga air (micro/hydro power), biomassa, angin, arus laut dan surya dari pada pembangkit energi berbasis fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Seandainya tidak bisa dihindari penggunaan energi fosil ini, maka penggunaan teknologi yang ramah lingkungan harus disyaratkan seperti carbon capture pada pembangkit tenaga batu bara.

Desain struktur ruang yang menghindari bottleneck arus lalu lintas, promosi penggunaan transportasi masal dengan peningkatan kualitas layanan hingga penyediaan ruas khusus (pedestrian) yang nyaman bagi pejalan kaki dan pengayuh sepeda merupakan salah satu implementasi visi hijau dalam sektor transportasi. Sejalan dengan itu pula, tata ruang pemukiman yang terkonsentrasi membuat layanan transportasi masal lebih ekonomis dibanding pemukiman yang tersebar (sprawl)  juga merupakan salah satu peran tata ruang dalam mengurangi emisi gas rumah kaca selain penentuan pola ruang kawasan lindung.

Gas metana yang sangat efektif menimbulkan efek pemanasan temperatur bumi dapat ditekan dengan pengelolaan sampah. Berdasarkan hasil penelitian, satu ton sampah dapat menghasilkan 50 kg gas metana. Karenanya prinsip 3R (Reduce-Reuse-Recycle) dalam pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga perlu digalakkan. Kemudian itu konsep energy harvesting dari sampah merupakan kegiatan sekali mendayung dua pulau terlampaui. Artinya selain dapat menghindari terlpasnya gas metana ke udara, energi listrik pun didapat. Peternakan terpadu dapat pula mengurangi efek rumah kaca dari kotoran hewan. Selain itu, petani pun akan lebih hemat karena tidak terlalu tergantung dengan pupuk kimia.

Satu hal yang mungkin sering terlupakan, lautan yang luas juga merupakan tempat penyerapan karbon (carbon sink) yang sangat besar. Jutaan ton karbon dapat terserap oleh laut akibat proses photosintesis yang dilakukan oleh milyaran phytoplankton. Karena itu kualitas air laut terutama di kawasan pesisir harus dijaga dari pencemaran. Berkaitan dengan warna dan karakter lingkungan, tentunya visi Aceh Green mungkin dapat berubah menjadi Green in land, Blue at sea

Akhirnya, langkah-langkah implementatif konsep hijau maupun biru akan menjadi keniscayaan apabila individu manusia menginternalisasikan visi ini dalam kehidupan sehari-hari. Selama kita masih memilih melepaskan segala jenis gas rumah kaca melalui rokok, boros dalam penggunaan sumber daya termasuk listrik dan air, hingga buang sampah sembarangan, maka implementasi visi Aceh Green dalam skala pembangunan akan menjadi hal yang paradoksial. Wallahu a’lam bisshawab.