Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, telah mendeklarasikan
sebuah visi pembangunan berkelanjutan Aceh yang sering disebut Aceh Green Vision. Deklarasi ini
dimaklumatkan dalam sebuah forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan
iklim di Bali pada akhir tahun 2007 yang lalu. Berbagai tanggapan positif
menyapa kepala pemerintah provinsi paling barat Indonesia ini. Bahkan Majalah
Time edisi 30 November 2009 menampilkan sebuah liputan khusus tentang Aceh
terkait dengan kegiatan pemeliharaan lingkungan.
Di Aceh sendiri, beberapa langkah telah diambil pasca
Aceh Green digadang-gadang menjadi visi pembangunan Aceh baru. Jeda pembalakan
hutan (moratorium logging), reforestasi, pembukaan lahan sawit kelapa hingga
perekrutan polisi hutan dianggap sebagai turunan dari visi Aceh Hijau tersebut.
Bahkan mayoritas masyarakat menganggap untuk memperbaiki lingkungan semata dengan
menanam pohon yang hijau-hijau sehingga bukanlah hal yang aneh apabila kegiatan
pembangunan berkelanjutan di Aceh hanya menjadi dominasi dinas/badan yang
secara nomenklatur menpunyai keterkaitan secara kasat mata dengan istilah hijau
dan lingkunga seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal).
Apabila kita melihat permasalahan perubahan iklim sebagai
sebuah bencana, maka reforestasi/reboisasi atau penanaman pohon merupakan
sebuah langkah meningkatkan ketahanan atau resilience
dari alam untuk memitigasi pemanasan global dengan menyerap karbon. Padahal
bencana mempunyai satu komponen lain yaitu kejadian (hazard) yang menyebabkan
sebuah bencana pemanasan global. Kejadian ini bersumber dari kegiatan yang
menghasilkan gas rumah kaca (green-house gas-GHG). Karbondioksida (CO2) adalah
gas rumah kaca tetapi gas rumah kaca tidak semata-mata karbondioksida. Terdapat
beberapa jenis GHG lainya seperti metana dan Nitrogen Oksida (N2O) yang
mempunyai efektifitas 25 dan 270 kali dari karbondioksida dalam menyebabkan
pemanasan iklim. Pohon atau hutan tidak efektif menjaga temperatur bumi yang
naik akibat kedua gas ini karena proses photosintesis tumbuhan hanya menyerap
karbon.
Karena itu, selain memelihara hutan, Visi Aceh Green juga
mengharuskan melakukan kegiatan pembangunan yang dapat menurunkan tingkat emisi
GHG dalam mencegah global warming. Apabila kita menilik dari kontribusi
kegiatan manusia yang terhadap perubahan iklim ( lihat diagram), maka
seharusnya kegiatan pembangunan di sektor-sektor menjadi perhatian dan prioritas
penerapan visi Aceh Hijau. Misalnya sektor energi/pembangkit listrik yang
berkontribusi sebesar 21,3 %, perlu diprioritaskan pengembangan energi yang
terbarukan seperti pembangkit tenaga panas bumi (geothermal), tenaga air (micro/hydro
power), biomassa, angin, arus laut dan surya dari pada pembangkit energi
berbasis fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Seandainya tidak bisa
dihindari penggunaan energi fosil ini, maka penggunaan teknologi yang ramah
lingkungan harus disyaratkan seperti carbon
capture pada pembangkit tenaga batu bara.
Desain struktur ruang yang menghindari bottleneck arus lalu lintas, promosi
penggunaan transportasi masal dengan peningkatan kualitas layanan hingga
penyediaan ruas khusus (pedestrian) yang nyaman bagi pejalan kaki dan pengayuh
sepeda merupakan salah satu implementasi visi hijau dalam sektor transportasi.
Sejalan dengan itu pula, tata ruang pemukiman yang terkonsentrasi membuat
layanan transportasi masal lebih ekonomis dibanding pemukiman yang tersebar (sprawl)
juga merupakan salah satu peran tata ruang dalam mengurangi emisi gas
rumah kaca selain penentuan pola ruang kawasan lindung.
Gas metana yang sangat efektif menimbulkan efek pemanasan
temperatur bumi dapat ditekan dengan pengelolaan sampah. Berdasarkan hasil
penelitian, satu ton sampah dapat menghasilkan 50 kg gas metana. Karenanya
prinsip 3R (Reduce-Reuse-Recycle) dalam pengelolaan sampah di tingkat rumah
tangga perlu digalakkan. Kemudian itu konsep energy harvesting dari sampah merupakan kegiatan sekali mendayung
dua pulau terlampaui. Artinya selain dapat menghindari terlpasnya gas metana ke
udara, energi listrik pun didapat. Peternakan terpadu dapat pula mengurangi
efek rumah kaca dari kotoran hewan. Selain itu, petani pun akan lebih hemat
karena tidak terlalu tergantung dengan pupuk kimia.
Satu hal yang mungkin sering terlupakan, lautan yang luas
juga merupakan tempat penyerapan karbon (carbon
sink) yang sangat besar. Jutaan ton karbon dapat terserap oleh laut akibat
proses photosintesis yang dilakukan oleh milyaran phytoplankton. Karena itu kualitas
air laut terutama di kawasan pesisir harus dijaga dari pencemaran. Berkaitan
dengan warna dan karakter lingkungan, tentunya visi Aceh Green mungkin dapat
berubah menjadi Green in land, Blue at
sea.
Akhirnya, langkah-langkah implementatif konsep hijau
maupun biru akan menjadi keniscayaan apabila individu manusia menginternalisasikan
visi ini dalam kehidupan sehari-hari. Selama kita masih memilih melepaskan
segala jenis gas rumah kaca melalui rokok, boros dalam penggunaan sumber daya termasuk listrik dan air, hingga
buang sampah sembarangan, maka implementasi visi Aceh Green dalam skala
pembangunan akan menjadi hal yang paradoksial. Wallahu a’lam bisshawab.