Sabtu, 02 Mei 2009

ADB Series - Kemana Pembangunan Infrastruktur Aceh Melangkah?

Aceh Development Board,  Edisi Mei 2009
Kerap terjadi  perdebatan tentang prioritas mana yang harus didahulukan antara pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Polemik ini mirip seperti analogi telur ayam dan induk ayam dimana pertanyaannya adalah apa yang duluan diciptakan, telur atau induk ayam.  Namun apabila kita merujuk pada sebuah definisi infrastruktur yang dikemukakan Grigg (dalam Kodoatie, 2005) bahwa sistem infrastruktur adalah fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan dan instalasi yang dibutuhkan dan dibangun untuk berfungsinya sistem ekonomi dan sosial. Juga, Rostow dalam bukunya “Stages of Economic Growth” menyatakan bahwa infrastruktur merupakan prasyarat (condition) bagi pembangunan ekonomi. Maka berdasarkan definisi tersebut diatas, tentunya pembangunan infrastruktur menjadi terlebih dahulu diprioritaskan.

Bagaimana Aceh dapat menjadi syurga investasi apabila ketersediaan listrik tidak bisa terjamin atau bagaimana bisa meningkatkan produktifitas petani yang notabene-nya merupakan proporsi terbesar penduduk Aceh jika kepastian akan supplai air melalui irigasi tidak tersedia atau bagaimana menciptakan generasi Aceh yang sehat, cerdas dan islami kalau penduduk Aceh masih mengkomsumsi  air yang bersumber dari sumber yang tidak aman, tidak mendapat akses kepada fasilitas sanitasi yang layak,  masih berada didalam keremangan ketika melakukan aktifvitas pembinaan dan pembelajaran di malam hari akibat tidak tersedianya listrik. Karena itu, sudah seharusnya Pemerintah Aceh memberikan perhatian lebih terhadap pembangunan infrastruktur apalagi tsunami dan konflik telah banyak melumpuhkan infrastruktur dasar di provinsi ini.

Secara ilustratif, keterkaitan antara sistem lingkungan, infrastruktur, ekonomi dan sosial dapat dilihat pada gambar 1 dibawah. Gambar 1 menunjukkan bahwa lingkungan hidup yang sehat merupakan pendukung bagi sistem infrastruktur yang mana pada gilirannya akan menjadi landasan dimana sistem ekonomi dan sosial berdiri.
Gambar 1.  Keterkaitan antara sistem sosial, ekonomi, infrastruktur dan Lingkungan Hidup

Kondisi Infrastruktur di Aceh
Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, air bersih dan sanitasi, energi, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi (Grigg dalam Kodratie, 2005).
Secara umum kondisi infrastruktur transportasi di Provinsi Aceh, terutama jalan raya, adalah relatif memuaskan.  Jalan raya lintas timur, dari Banda Aceh hingga Seumadan di perbatasan Aceh-Sumut, pada umumnya berkondisi baik. Sedangkan lintas barat, terutama di Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat, masih berada dalam tahap penyelesaian dimana lintas ini , Banda Aceh-Calang, merupakan lintas termasuk jalan yang dibangun oleh USAID. Diharapkan selesainya jalan ini akan memberian bangkitan ekonomi yang signifikan bagi warga Aceh yang mendiami wilayah pesisir barat. Adapun pada lintas tengah harus mendapatkan perhatian lebih dikarenakan pola pergerakan kendaraan yang semakin tinggi di lintasan ini sementara kondisi geometrik yang berat serta banyak kondisi jalan yang rusak. Apabila kita melihat kondisi jalan raya berdasarkan kewenangan pusat dan provinsi, maka dapat dikatakan bahwa jalan nasional mempunyai kondisi yang lebih baik dibanding jalan provinsi. Panjang jalan nasional yang berkondisi baik adalah 1.251 km (70,17 %) sedangkan jalan provinsi yang berkondisi baik hanya 511 km atau 30,03 % dari total panjang 1.701, 82 km lihat tabel 1). 

Selain jalan raya, pemerintah pusat juga telah membangun jalur kereta api yang merupakan program nasional, Sumatra Railways, yang akan mengembangkan angkutan kereta api dari Aceh hingga Lampung. Sampai saat ini, baru terbangun rel kereta api sepanjang kurang lebih 20 km dari Krueng Mane – Cunda Lhokseumawe.






Tabel 1.  Kondisi Ruas Jalan Nasional dan Provinsi tahun 2008
(Sumber :Dinas BMCK Provinsi Aceh).


Provinsi Aceh memiliki 10 pelabuhan laut/samudra dan beberapa pelabuhan rakyat. Namun aktivitas kepelabuhan masih didominasi oleh kegiatan bongkar. Ini artinya aktvitas perdagangan di provinsi ini masih belum menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Aceh sebagai oulet. Sementara, pelabuhan udara (bandara) berjumlah 11 dimana kegiatan penerbangan masih didominasi oleh kegiatan perintis/subsidi.

Untuk sektor kelistrikan, kebutuhan listrik baru dapat dipenuhi sekitar 60 % dari kebutuhan rumah tangga dan industri skala kecil dimana beban puncak sejarang mencapai 225 MW. Rasio elektrifikasi  rumah tangga di provinsi ini mencapai 78%. Apabila kita lihat dari sumber listrik, kebutuhan listrik Aceh dipasok dari transmisi sumbagut sebesar 70 %, dari pembangkit isolated sebesar 26,62 % dan sumber-sumber lain sebesar 3,38 %. Diperkirakan kedepan kebutuhan listrik akan terus meningkat apalagi jika nanggroe ini diarahkan ke daerah industri.  Disamping itu, akses fasilitas  teknologi informasi dan komunikasi juga masih belum maksimal. Baru 35 % penduduk Aceh menikmati akses telepon bergerak (mobile phone) dan kurang dari 3% rumah tangga di Aceh mengakses internet (TRIP Report, 2009) 

Cakupan layanan air minum dan sanitasi juga masih dirasa kurang. Proporsi penduduk Aceh yang mendapat akses air bersih dari sumber air yang baik baru sekitar 63,63 % dimana sistem perpipaan hanya melayani 11 % dari penduduk Aceh (TRIAMS Report, 2008). Adapun akses rumah tangga kepada fasilitas sanitasi dasar juga baru 60,96 %.  Permasalahan ini diperparah dengan pengelolaan dan infrastruktur air minum dan sanitasi serta perilaku masyarakat yang tidak memadai. Diantara seluruh PDAM yang ada di Provinsi Aceh, hanya PDAM Tirta Mountala Kabupaten Aceh Besar yang dapat membukukan keuntungan. Namun demikian cakupan layanan PDAM  ini hanya melayani 10 % dari penduduk Aceh Besar. Selanjutnya infrastruktur sanitasi seperti drainase, tempat pengolahan sampah dan instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT) juga masih terbatas, jika pun ada kualitas pengelolaannya masih buruk.

Infrastruktur irigasi di Aceh juga menunjukkan hal yang belum menggembirakan. Secara keseluruhan kondisi irigasi yang baik di Provinsi Aceh adalah 46,67 % dimana kondisi irigasi yang merupakan kewenangan provinsi dan kabupaten berkondisikan lebih buruk dibanding  kewenangan pusat (lihat tabel 2). Hal ini dari satu sisi dikarenakan anggaran operasi dan pemeliharaan yang disediakan oleh provinsi dan kabupaten lebih kecil sedikit atau tidak ada.  Infrastruktur pengairan lainnya juga belum maksimal mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya air. Indikasi dari kesimpulan ini adalah masih maraknya terjadi banjir, erosi/abrasi, longsor, sedimentasi dan lain-lain.

No.
Irigasi
Ha
Kondisi
Baik
Sedang
Rusak
1.
Kewenangan Pusat
120.921
70 %
20 %
10 %
2.
Kewenangan Provinsi
76.647
40 %
25 %
35 %
3.
Kewenangan Kabupaten/ Kota
186.603
30 %
20 %
50 %
Tabel 2. Kondisi Infrastruktur Irigasi di Provinsi Aceh (Sumber ; Dinas Pengairan Aceh, 2009)

Kondisi infrastruktur yang tidak handal sebenarnya bukan fenomena di Aceh saja tetapi juga ia menjadi permasalahan nasional. World Bank (2004) dalam sebuah laporan berjudul “ Indonesia : Averting an Infrastructure Crisis” menyebutkan bahwa Indonesia telah kehilangan daya tarik dan daya saing karena kondisi infrastruktur yang memprihatinkan dan menempati urutan bawah dalam hal pencapaian indikator infrastruktur. Sebagai bagian dari Indonesia, Provinsi Aceh membutuhkan sebuah transformasi infrastruktur yang dapat membalikkan keadaan kondisi infrastruktur Aceh yang buruk menjadi bermutu. Untuk itu diperlukan sebuah arah yang jelas serta proses yang transparans dan akuntabel sehinga infrastruktur nantinya menjadi landasan kokoh bagi perwujudan visi ekonomi dan sosial Aceh.

Arah Pembangunan Infrastruktur Aceh
Untuk menentukan arah pembangunan infrastruktur Aceh, seyogyanya harus dimulai dengan pemahaman konteks daerah yang lebih umum selain konteks infrastruktur yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.  Seperti dimaklumi bersama, tingkat kemiskinan rakyat Aceh masih tinggi, yaitu 23,5 % jauh dibawah rata-rata nasional, 15,4% (TRIP Report, 2009). Dari sisi mata pencaharian, 50 % penduduk Aceh menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian dimana sektor ini menjadi mata pencaharian utama di daerah perdesaan (86 %). Kemudian sebaran penduduk miskin menunjukkan kawasan perdesaan menjadi kantong kemiskinan yaitu 79,6 % penduduk miskin bermukim di rural areas. Ketersediaan sumber daya manusia juga masih terbatas di provinsi paling barat ini. Banyak permintaan pekerjaan yang mensyaratkan keahlian khusus tidak dapat dipenuhi oleh SDM Aceh sehingga terpaksa mendatangkan pekerja dari luar. Hal ini terjadi mulai era oil-gas booming setelah ditemukan ladang gas raksasa di Arun di medio akhir dekade 1970an hingga proses rehabilitasi dan rekonstruksi  Aceh pasca tsunami.

Selain konteks yang menjadi kelemahan serta tantangan bagi masyarakat Aceh, terdapat konteks yang dapat dimanfaatkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Iklim perdamaian yang telah menaungi wilayah ini sehingga disrupsi ekonomi dan sosial akibat konflik selama 30 tahun lebih menjadi nihil. Kemudian posisi strategis provinsi ini juga memberikan kesempatan luar biasa untuk ikut terlibat dalam percaturan perdaganan dunia yang akan memberikan nilai tambah positif bagi kehidupan masyarakat Aceh.   

Berdasarkan latar belakang tersebut, sangat tepatlah arah transformasi infrastruktur di Aceh yang terdapat pada dokumen rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2007-2012 yaitu pembangunan infrastruktur baru dan pemeliharaan infrakstruktur eksisting untuk mendukung proses pertambahan nilai (added value processes) dan investasi  dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan di Aceh.  Untuk sektor perhubungan, prioritas seharusnya dilakukan untuk membangun jalan-jalan pengumpan (feeder roads) yang menghubungkan sentra-sentra produksi yang umumnya di kawasan perdesaan dan pasar/outlet sehingga terjadinya penambahan nilai produk yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan produsen /petani dan mengurangi tingkat kemiskinan. Prioritas pembangunan jalan pengumpan ini juga konsisten dengan kebutuhan karena sebagian besar dari jalan ini merupakan jalan provinsi dan kabupaten yang berkondisikan tidak baik (lihat tabel 1). 

Pemerintah Aceh maupun kabupaten/kota  tidak seharusnya memprioritaskan membangun atau meningkatkan jalan nasional. Selain karena jalan tersebut relatif mempunyai kondisi baik juga untuk jalan nasional  dapat didanai dari  APBN. Hal ini dimaksudkan supaya penggunaan APBA  menjadi efektif, efisien dan lebih banyak prioritas pembangunan dapat didanai.

Selanjutnya defisit listrik harus segera diselesaikan. Provinsi Aceh tidak bisa lagi tergantung semata pada pasokan listrik dari Provinsi Sumatra Utara karena Sistem Sumbagut sendiri mengalami defisit. Disamping itu, Aceh mempunyai beberapa potensi pembangkit listrik seperti PLTA, batu bara dan panas bumi (geothermal). Karena pembangunan pembangkit melibatkan pembiayaan yang sangat besar, Pemerintah Aceh harus proaktif menawarkan kesempatan investasi kelistrikan pada pihak swasta dengan tidak fokus pada manfaat langsung (direct benefit) berupa dana segar atau PAD tetapi lebih pada indirect benefit yaitu ketersediaan listrik bagi seluruh rakyat yang cukup, terjangkau dan berkelanjutan sehingga kegiatan ekonomi rakyat dan iklim investasi menjadi cerah di Aceh yang tentunya akan meningkatkan pendapatan daerah. Kemudian untuk kawasan pemukiman yang jauh dari sistem transmisi listrik PLN (grid) terutama kawasan tengah Aceh, pembangkit tenaga listrik mikro hidro (PLTMH) atau tenaga surya (PLTS)  menjadi pilihan dikarenakan kawasan tersebut kaya akan sumber daya air.  

Untuk cakupan air minum dan penyehatan lingkungan (sanitasi) pemerintah harus bermain pada dua sisi produksi (supply side) dan permintaan (demand side). Dari sisi supply, pemerintah harus memastikan institusi-institusi penyedia air minum (PDAM) dan pengelola limbah dapat menyelesaikan permasalahan internal dan eksternal seperti manajemen yang efisien, penertiban kebocoran air, sistem tarif yang akan menjamin keberlanjutan penyedian air minum dan sanitasi. Untuk kawasan yang tidak terjangkau oleh  institusi pengelola air minum dan sanitasi, pemerintah perlu mendukung dan menfasilitasi terbentuknya institusi pengelola berbasis masyarakat. Hal ini bernilai strategis karena disatu sisi dapat menghemat anggaran, disisi lain akan meningkatkan sense of ownership dari pengguna sehingga aspek keberlanjutan atau sustainability lebih terjamin. Dari sisi permintaan,pemerintah juga perlu menumbuhkan kebutuhan akan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui sosialisai, kampanye dan training/pelatihan. Ketika masyarakat telah merasa butuh,maka pembangunan fasilitas air minum dan santasi menjadi lebih murah karena masyarakat sendiri secara sukarela kan membayar tarif air minum dan kebersihan lainnya, memilah sampah dan juga akan membangun fasilitas sanitasi seperti MCK  hingga drainase. Untuk pengolahan sampah, praktek open dumping (buang dan tumpuk) seharusnya dihindari menuju fasilitas pengolahan sampah yang dapat memanfaatkan sampah menjadi barang ekonomi seperti tempat pengolahan akhir (TPA) yang dilengkapi fasilitas daur ulang, pembuatan kompos hingga energy harvesting (pembangkit listrik).

Terkait dengan kondisi infrastruktur irigasi provinsi dan kabupaten yang relatif tidak berfungsi baik akibat ketersediaan dana operasi dan pemeliharaan yang minim, pemerintah perlu menggerakkan sumber daya masyarakat pengguna air/irigasi dalam pengelolaan infrastruktur irigasi melalui kegiatan pemberdayaan petani pengguna air sehingga layanan air untuk pertanian bisa dilaksanakan secara kontinyu. Seterusnya, pembangunan dam/irigasi baru perlu juga dilakukan. Selain sebagai sumber air irigasi, dam ini dapat juga dipergunakan untuk sumber air baku, pengendalian banjir hingga pariwisata.


Akhirnya selain ketersediaan (availability) infrastruktur, aspek kualitas (quality) dan keberlanjutan (sustainability) juga perlu diperhatikan. Untuk itu, pembangunan infrastruktur haruslah dimulai dengan perencanaan yang matang, proses procurement yang transparan dan professional, monitoring yang intens dan adanya aturan yang tegas dalam pengoperasian dan pemeliharaan.  Hal ini dimaksudkan hak rakyat Aceh akan pelayanan dasar terpenuhi dalam jangka waktu yang lama dan membantu mereka menapaki tangga kesejahteraan.