Aceh Development Board, Edisi Mei 2009 |
Bagaimana
Aceh dapat menjadi syurga investasi apabila ketersediaan listrik tidak bisa
terjamin atau bagaimana bisa meningkatkan produktifitas petani yang
notabene-nya merupakan proporsi terbesar penduduk Aceh jika kepastian akan
supplai air melalui irigasi tidak tersedia atau bagaimana menciptakan generasi
Aceh yang sehat, cerdas dan islami kalau penduduk Aceh masih mengkomsumsi air yang bersumber dari sumber yang tidak
aman, tidak mendapat akses kepada fasilitas sanitasi yang layak, masih berada didalam keremangan ketika
melakukan aktifvitas pembinaan dan pembelajaran di malam hari akibat tidak
tersedianya listrik. Karena itu, sudah seharusnya Pemerintah Aceh memberikan
perhatian lebih terhadap pembangunan infrastruktur apalagi tsunami dan konflik
telah banyak melumpuhkan infrastruktur dasar di provinsi ini.
Secara ilustratif, keterkaitan
antara sistem lingkungan, infrastruktur, ekonomi dan sosial dapat dilihat pada gambar
1 dibawah. Gambar 1 menunjukkan bahwa lingkungan hidup yang sehat merupakan
pendukung bagi sistem infrastruktur yang mana pada gilirannya akan menjadi
landasan dimana sistem ekonomi dan sosial berdiri.
Gambar 1. Keterkaitan
antara sistem sosial, ekonomi, infrastruktur dan Lingkungan Hidup
Kondisi
Infrastruktur di Aceh
Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan
transportasi, pengairan, air bersih dan sanitasi, energi, bangunan-bangunan
gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi (Grigg dalam Kodratie, 2005).
Secara umum kondisi
infrastruktur transportasi di Provinsi Aceh, terutama jalan raya, adalah
relatif memuaskan. Jalan raya lintas
timur, dari Banda Aceh hingga Seumadan di perbatasan Aceh-Sumut, pada umumnya
berkondisi baik. Sedangkan lintas barat, terutama di Kabupaten Aceh Jaya dan
Aceh Barat, masih berada dalam tahap penyelesaian dimana lintas ini , Banda
Aceh-Calang, merupakan lintas termasuk jalan yang dibangun oleh USAID.
Diharapkan selesainya jalan ini akan memberian bangkitan ekonomi yang
signifikan bagi warga Aceh yang mendiami wilayah pesisir barat. Adapun pada
lintas tengah harus mendapatkan perhatian lebih dikarenakan pola pergerakan
kendaraan yang semakin tinggi di lintasan ini sementara kondisi geometrik yang
berat serta banyak kondisi jalan yang rusak. Apabila kita melihat kondisi jalan
raya berdasarkan kewenangan pusat dan provinsi, maka dapat dikatakan bahwa jalan
nasional mempunyai kondisi yang lebih baik dibanding jalan provinsi. Panjang
jalan nasional yang berkondisi baik adalah 1.251 km (70,17 %)
sedangkan jalan provinsi yang berkondisi baik hanya 511 km atau 30,03 % dari
total panjang 1.701, 82 km
lihat tabel 1).
Selain jalan raya, pemerintah pusat juga telah membangun jalur
kereta api yang merupakan program nasional, Sumatra Railways, yang akan
mengembangkan angkutan kereta api dari Aceh hingga Lampung. Sampai saat ini, baru
terbangun rel kereta api sepanjang kurang lebih 20 km dari Krueng Mane –
Cunda Lhokseumawe.
Tabel 1. Kondisi
Ruas Jalan Nasional dan Provinsi tahun 2008
(Sumber :Dinas BMCK Provinsi Aceh).
Provinsi Aceh memiliki 10
pelabuhan laut/samudra dan beberapa pelabuhan rakyat. Namun
aktivitas kepelabuhan masih didominasi oleh kegiatan bongkar. Ini artinya aktvitas
perdagangan di provinsi ini masih belum menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Aceh
sebagai oulet. Sementara, pelabuhan udara (bandara) berjumlah 11 dimana kegiatan
penerbangan masih didominasi oleh kegiatan perintis/subsidi.
Untuk sektor kelistrikan, kebutuhan
listrik baru dapat dipenuhi sekitar 60 % dari kebutuhan rumah tangga dan
industri skala kecil dimana beban puncak sejarang mencapai 225 MW. Rasio
elektrifikasi rumah tangga di provinsi
ini mencapai 78%. Apabila kita lihat dari sumber listrik, kebutuhan listrik Aceh
dipasok dari transmisi sumbagut sebesar 70 %, dari pembangkit isolated sebesar
26,62 % dan sumber-sumber lain sebesar 3,38 %. Diperkirakan kedepan kebutuhan
listrik akan terus meningkat apalagi jika nanggroe ini diarahkan ke daerah
industri. Disamping itu, akses fasilitas
teknologi informasi dan komunikasi juga
masih belum maksimal. Baru 35 % penduduk Aceh menikmati akses telepon bergerak
(mobile phone) dan kurang dari 3% rumah tangga di Aceh mengakses internet (TRIP
Report, 2009)
Cakupan layanan air minum dan
sanitasi juga masih dirasa kurang. Proporsi penduduk Aceh yang mendapat akses
air bersih dari sumber air yang baik baru sekitar 63,63 % dimana sistem
perpipaan hanya melayani 11 % dari penduduk Aceh (TRIAMS Report, 2008). Adapun
akses rumah tangga kepada fasilitas sanitasi dasar juga baru 60,96 %. Permasalahan ini diperparah dengan
pengelolaan dan infrastruktur air minum dan sanitasi serta perilaku masyarakat yang
tidak memadai. Diantara seluruh PDAM yang ada di Provinsi Aceh, hanya PDAM
Tirta Mountala Kabupaten Aceh Besar yang dapat membukukan keuntungan. Namun
demikian cakupan layanan PDAM ini hanya
melayani 10 % dari penduduk Aceh Besar. Selanjutnya infrastruktur sanitasi
seperti drainase, tempat pengolahan sampah dan instalasi pengolahan lumpur
tinja (IPLT) juga masih terbatas, jika pun ada kualitas pengelolaannya masih
buruk.
Infrastruktur irigasi di Aceh
juga menunjukkan hal yang belum menggembirakan. Secara keseluruhan kondisi
irigasi yang baik di Provinsi Aceh adalah 46,67 % dimana kondisi irigasi yang
merupakan kewenangan provinsi dan kabupaten berkondisikan lebih buruk dibanding
kewenangan pusat (lihat tabel 2). Hal ini
dari satu sisi dikarenakan anggaran operasi dan pemeliharaan yang disediakan
oleh provinsi dan kabupaten lebih kecil sedikit atau tidak ada. Infrastruktur pengairan lainnya juga belum
maksimal mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya
air. Indikasi dari kesimpulan ini adalah masih maraknya
terjadi banjir, erosi/abrasi, longsor, sedimentasi dan lain-lain.
No.
|
Irigasi
|
Ha
|
Kondisi
|
||
Baik
|
Sedang
|
Rusak
|
|||
1.
|
Kewenangan
Pusat
|
120.921
|
70 %
|
20 %
|
10 %
|
2.
|
Kewenangan
Provinsi
|
76.647
|
40 %
|
25 %
|
35 %
|
3.
|
Kewenangan Kabupaten/ Kota
|
186.603
|
30 %
|
20 %
|
50 %
|
Tabel 2. Kondisi Infrastruktur Irigasi di Provinsi Aceh
(Sumber ; Dinas Pengairan Aceh, 2009)
Kondisi infrastruktur yang
tidak handal sebenarnya bukan fenomena di Aceh saja tetapi juga ia menjadi
permasalahan nasional. World Bank (2004) dalam sebuah laporan berjudul “ Indonesia : Averting an Infrastructure Crisis” menyebutkan bahwa Indonesia
telah kehilangan daya tarik dan daya saing karena kondisi infrastruktur yang
memprihatinkan dan menempati urutan bawah dalam hal pencapaian indikator
infrastruktur. Sebagai bagian dari Indonesia, Provinsi Aceh membutuhkan sebuah
transformasi infrastruktur yang dapat membalikkan keadaan kondisi infrastruktur
Aceh yang buruk menjadi bermutu. Untuk itu diperlukan sebuah arah yang jelas
serta proses yang transparans dan akuntabel sehinga infrastruktur nantinya
menjadi landasan kokoh bagi perwujudan visi ekonomi dan sosial Aceh.
Arah
Pembangunan Infrastruktur Aceh
Untuk
menentukan arah pembangunan infrastruktur Aceh, seyogyanya harus dimulai dengan
pemahaman konteks daerah yang lebih umum selain konteks infrastruktur yang
telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Seperti dimaklumi bersama, tingkat kemiskinan rakyat Aceh masih tinggi,
yaitu 23,5 % jauh dibawah rata-rata nasional, 15,4% (TRIP Report, 2009). Dari
sisi mata pencaharian, 50 % penduduk Aceh menggantungkan kehidupannya dari
sektor pertanian dimana sektor ini menjadi mata pencaharian utama di daerah
perdesaan (86 %). Kemudian sebaran penduduk miskin menunjukkan kawasan
perdesaan menjadi kantong kemiskinan yaitu 79,6 % penduduk miskin bermukim di rural areas. Ketersediaan sumber daya
manusia juga masih terbatas di provinsi paling barat ini. Banyak permintaan
pekerjaan yang mensyaratkan keahlian khusus tidak dapat dipenuhi oleh SDM Aceh
sehingga terpaksa mendatangkan pekerja dari luar. Hal ini terjadi mulai era oil-gas booming setelah ditemukan ladang
gas raksasa di Arun di medio akhir dekade 1970an hingga proses rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh pasca tsunami.
Selain
konteks yang menjadi kelemahan serta tantangan bagi masyarakat Aceh, terdapat
konteks yang dapat dimanfaatkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Iklim
perdamaian yang telah menaungi wilayah ini sehingga disrupsi ekonomi dan sosial
akibat konflik selama 30 tahun lebih menjadi nihil. Kemudian posisi strategis
provinsi ini juga memberikan kesempatan luar biasa untuk ikut terlibat dalam
percaturan perdaganan dunia yang akan memberikan nilai tambah positif bagi
kehidupan masyarakat Aceh.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, sangat tepatlah arah transformasi infrastruktur di
Aceh yang terdapat pada dokumen rencana pembangunan jangka menengah (RPJM)
2007-2012 yaitu pembangunan infrastruktur baru dan pemeliharaan infrakstruktur
eksisting untuk mendukung proses pertambahan nilai (added value processes) dan investasi dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan di
Aceh. Untuk sektor perhubungan,
prioritas seharusnya dilakukan untuk membangun jalan-jalan pengumpan (feeder roads) yang menghubungkan
sentra-sentra produksi yang umumnya di kawasan perdesaan dan pasar/outlet
sehingga terjadinya penambahan nilai produk yang pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan produsen /petani dan mengurangi tingkat kemiskinan. Prioritas
pembangunan jalan pengumpan ini juga konsisten dengan kebutuhan karena sebagian
besar dari jalan ini merupakan jalan provinsi dan kabupaten yang berkondisikan
tidak baik (lihat tabel 1).
Pemerintah Aceh maupun kabupaten/kota tidak seharusnya memprioritaskan membangun
atau meningkatkan jalan nasional. Selain karena jalan tersebut relatif
mempunyai kondisi baik juga untuk jalan nasional dapat didanai dari APBN. Hal ini dimaksudkan supaya penggunaan
APBA menjadi efektif, efisien dan lebih
banyak prioritas pembangunan dapat didanai.
Selanjutnya
defisit listrik harus segera diselesaikan. Provinsi Aceh tidak bisa lagi
tergantung semata pada pasokan listrik dari Provinsi Sumatra Utara karena
Sistem Sumbagut sendiri mengalami defisit. Disamping itu, Aceh mempunyai
beberapa potensi pembangkit listrik seperti PLTA, batu bara dan panas bumi
(geothermal). Karena pembangunan pembangkit melibatkan pembiayaan yang sangat
besar, Pemerintah Aceh harus proaktif menawarkan kesempatan investasi
kelistrikan pada pihak swasta dengan tidak fokus pada manfaat langsung (direct benefit) berupa dana segar atau
PAD tetapi lebih pada indirect benefit
yaitu ketersediaan listrik bagi seluruh rakyat yang cukup, terjangkau dan
berkelanjutan sehingga kegiatan ekonomi rakyat dan iklim investasi menjadi
cerah di Aceh yang tentunya akan meningkatkan pendapatan daerah. Kemudian untuk
kawasan pemukiman yang jauh dari sistem transmisi listrik PLN (grid) terutama
kawasan tengah Aceh, pembangkit tenaga listrik mikro hidro (PLTMH) atau tenaga
surya (PLTS) menjadi pilihan dikarenakan
kawasan tersebut kaya akan sumber daya air.
Untuk cakupan air minum dan penyehatan lingkungan
(sanitasi) pemerintah harus bermain pada dua sisi produksi (supply side) dan permintaan (demand side). Dari sisi supply, pemerintah harus memastikan
institusi-institusi penyedia air minum (PDAM) dan pengelola limbah dapat
menyelesaikan permasalahan internal dan eksternal seperti manajemen yang
efisien, penertiban kebocoran air, sistem tarif yang akan menjamin
keberlanjutan penyedian air minum dan sanitasi. Untuk kawasan yang tidak
terjangkau oleh institusi pengelola air
minum dan sanitasi, pemerintah perlu mendukung dan menfasilitasi terbentuknya
institusi pengelola berbasis masyarakat. Hal ini bernilai strategis karena
disatu sisi dapat menghemat anggaran, disisi lain akan meningkatkan sense of ownership dari pengguna
sehingga aspek keberlanjutan atau sustainability
lebih terjamin. Dari sisi permintaan,pemerintah juga perlu menumbuhkan
kebutuhan akan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui sosialisai,
kampanye dan training/pelatihan. Ketika masyarakat telah merasa butuh,maka
pembangunan fasilitas air minum dan santasi menjadi lebih murah karena
masyarakat sendiri secara sukarela kan
membayar tarif air minum dan kebersihan lainnya, memilah sampah dan juga akan
membangun fasilitas sanitasi seperti MCK
hingga drainase. Untuk pengolahan sampah, praktek open dumping (buang dan tumpuk) seharusnya dihindari menuju fasilitas
pengolahan sampah yang dapat memanfaatkan sampah menjadi barang ekonomi seperti
tempat pengolahan akhir (TPA) yang dilengkapi fasilitas daur ulang, pembuatan
kompos hingga energy harvesting
(pembangkit listrik).
Terkait dengan kondisi infrastruktur irigasi
provinsi dan kabupaten yang relatif tidak berfungsi baik akibat ketersediaan
dana operasi dan pemeliharaan yang minim, pemerintah perlu menggerakkan sumber
daya masyarakat pengguna air/irigasi dalam pengelolaan infrastruktur irigasi
melalui kegiatan pemberdayaan petani pengguna air sehingga layanan air untuk
pertanian bisa dilaksanakan secara kontinyu. Seterusnya, pembangunan
dam/irigasi baru perlu juga dilakukan. Selain sebagai sumber air irigasi, dam
ini dapat juga dipergunakan untuk sumber air baku , pengendalian banjir hingga pariwisata.
Akhirnya selain ketersediaan (availability) infrastruktur, aspek kualitas (quality) dan keberlanjutan (sustainability)
juga perlu diperhatikan. Untuk itu, pembangunan infrastruktur haruslah dimulai
dengan perencanaan yang matang, proses procurement
yang transparan dan professional, monitoring yang intens dan adanya aturan yang
tegas dalam pengoperasian dan pemeliharaan.
Hal ini dimaksudkan hak rakyat Aceh akan pelayanan dasar terpenuhi dalam
jangka waktu yang lama dan membantu mereka menapaki tangga kesejahteraan.