Pesisir kembali menjadi perhatian dunia. Gempa 17 Juli 2006 di Samudera Hindia lepas pantai selatan Jawa yang kemudian diikuti tsunami merusak kawasan pesisir selatan Jawa. Sebelumnya, Tsunami tanggal 26 Desember 2004 juga meluluhlantakkan pesisir sejumlah negara yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Pesisir Aceh merupakan kawasan paling parah kerusakannya karena posisinya yang sangat dekat dengan pusat gempa.
Konsep Dasar
Sebagaimana halnya pengelolaan lingkungan, pengelolaan kawasan pesisir melibatkan dua entitas, yaitu entitas alam dan manusia. Alam atau lingkungan pesisir memberikan jasanya untuk manusia yang mendiami lingkungan pesisir dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Kalau direnungi, diantara kedua entitas tersebut, hanya kegiatan manusia merupakanvariable, artinya kegiatan atau program pembangunan dapat diubah atau disesuaikan. Sedangkan lingkungan mempunyai sebuah logika/aturan tersendiri (sunnatullah) dalam siklus hidupnya. Karena itu, untuk mencapai harmonisasi lingkungan dan pembangunan diperlukan adanya pemahaman yang benar tentang lingkungan pesisir sehingga aktivitas pembangunan tidak sampai mengurangi apalagi merusak kapasitas lingkungan dalam memberikan jasanya kepada manusia.
Mungkin menjadi pertanyaan, sampai batas mana sebuah daerah dapat dikatakan sebuah kawasan pesisir? Tidak ada batasan yang baku tentang kawasan pesisir, namun dapat dijelaskan dengan sebuah kriteria bahwa kawasan pesisir meliputi kawasan darat yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut (gelombang, pasang surut) dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami dan aktivitas manusia di daratan (sedimentasi, pencemaran). Di Aceh, kawasan pesisir menjadi lebih mudah untuk didefinisikan. Daratan yang digenangi air laut pada saat tsunami merupakan kawasan pesisir. Jangkauan pasang surut pasca tsunami yang merambah lebih dalam ke daratan juga dapat menjadi kriteria penentuan batas fisik daerah pesisir. Namun, dalam perencanaannya, batasan spasial ini menjadi elastis. Pembangunan bendungan di hulu sebuah sungai untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) atau penebangan hutan dapat menjadi isu pembangunan kawasan pesisir apabila bendungan dan penebangan tersebut mempengaruhi berkurang atau bertambahnya suplai sedimen ke perairan pesisir yang berakibat pada instabilitas fisik garis pantai, berkurangnya pasokan senyawa kimia yang dibutuhkan phytoplankton dan matinya terumbu karang akibat kekeruhan perairan di sekitar terumbu karang.
Idealnya, dalam sebuah proses pengolalaan kawasan pesisir yang meliputi perencanaan, implementasi dan evaluasi, harus melibatkan minimal tiga unsur ,yaitu ilmuwan , pemerintah dan masyarakat. Proses alam lingkungan pesisir hanya dapat dipahami oleh ilmuwan dan kemudian pemahaman tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan yang menempatkan msyarakat pesisir sebagai pelaku dengan tujuan meningkatkan keadaan sosial ekonomi kawasan.
Nilai Ekologi dan Ekonomi Pesisir
Pesisir merupakan ruang yang mempunyai nilai ekologis dan ekonomi yang sangat tinggi. Berbagai kegiatan ekonomi berada di ruang yang sempit ini. Perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan, industri, pariwisata bahkan pemerintahan kerap ditemui di daerah pesisir ini. Disamping itu, fitur lingkungan khas pesisir yang mendukung kegiatan ekonomi pesisir meliputi estuari, laguna, pantai pasir, terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea grass), hutan bakau (mangrove) dan hutan pantai lainnya. Terkadang masing-masing kegiatan tersebut bisa saling mempengaruhi. Degradasi lingkungan pesisir akibat industri dapat menurunkan produktivitas perikanan. Konversi mangrove atau hutan bakau menjadi kawasan industri atau pertambakan dapat mengurangi fungsi pesisir sebagai tempat pemijahan (spawning) dan pembesaran (nursery) ikan sehingga mempengaruhi ketersediaan ikan di lautan. Pentingnya fungsi bakau bagi fish stock terungkap dalam laporan Rodney V. Salm yang mengungkapkan bahwa pada 1975 setidaknya 555.000 ton ikan atau senilai US 194 juta tergantung langsung dengan keberadaan hutan mangrove di Indonesia. Mangrove atau bak bangka juga berfungsi sebagai peredam alami dari gempuran gelombang pasang karena struktur akarnya yang saling mengikat. Ditambah lagi, kemampuan mangrove sebagai purifier yang dapat mendegradasi polutan seperti logam berat dan zat beracun yang semakin menambah pentingnya nilai salah satu tipe lahan basah ini.
Terumbu karang, seperti halnya hutan bakau, adalah pemecah gelombang alami yang meredam energi gelombang sebelum mencapai pantai. Nilai ekologis dan ekonomi terumbu karang ini sangat besar. Constanza dkk (1997) memperkirakan nilai ekonomis terumbu karang adalah US$ 600.000 per km², menempati peringkat kedua setelah mangrove US$ 900.000. Ikan karang yang mendiami kawasan terumbu mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kerapu, Napoleon dan berbagai ikan hias merupakan sumber penghidupan nelayan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Praktek penangkapan ikan yang tidak bertanggungjawab seperti peledakan dan penggunaan trawl secara serampangan harus dijauhi karena dapat merusak habitat ikan mahal tersebut yang pada gilirannya akan menghilangkan kemampuan terumbu karang untuk memberikan jasanya pada nelayan. Selain sumber daya perikanan, terumbu karang mempunyai nilai ekonomi karena keindahan yang ditawarkannya sehingga dapat membangkitkan sektor pariwisata di sekitar ekosistem ini. Terumbu karang juga merupakan laboratorium farmakologi alam. Menurut Ruggieri, sea fans dan anemones -jenis karang yang hidup dalam ekosistem ini- mempunyai senyawa bioaktif yang dapat digunakan untuk bahan dasar obat anti bakteri, anti leukemia, anti kanker dan anti koalgulasi (pembekuan darah). Selain mangrove dan terumbu karang, ekosistem pesisir lainnya seperti padang lamun atau pasir putih juga mempunyai nilai ekologis dan ekonomi tinggi seperti habitat bagi mamalia laut langka, dugong atau ikan duyung, reproduksi penyu dan pariwisata pantai.
Pengelolaan Kawasan Pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam
Dalam konteks Aceh, Pengelolaan kawasan pesisir setidaknya harus mempunyai tiga fungsi yaitu mitigasi bencana, pengembangan ekonomi kawasan dan perlindungan ekosistem. Keterpaduan dari tiga fungsi ini diharapkan berujung pada sebuah pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan.
Fungsi mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir Aceh tidak lepas karena kondisi geologis provinsi ini. Aceh berada di sekitar zona subduksi atau pertemuan lempeng besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia dan Eurasia . Tumbukan lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan rata-rata 52 mm pertahun menyebabkan rangkaian gempa yang tidak pernah berhenti. Gempa yang kekuatannya di atas 6,5 skala Richter (SR) dan terjadi di laut bisa berpotensi menghasilkan kembali tsunami di pesisir Aceh. Kenaikan muka air laut akibat pasang ataupun pemanasan global juga menjadi ancaman karena beberapa daerah di Aceh sangat landai contohnya Banda Aceh.
Mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat dilakukan dengan beberapa cara. Spatial planning atau tata ruang adalah kebijakan paling mendasar dalam pengelolaan pesisir. Ruang pesisir yang sangat sempit ini harus menampung sedemikian banyak dan kompleksnya kegiatan sosial ekonomi. Tata ruang pesisir yang baik juga dapat memperkecil resiko kerusakan dari bencana yang berasal dari laut seperti tsunami dan badai tropis. Karakteristik pesisir Aceh yang rawan gempa dan tsunami sudah seharusnya dielaborasi dalam kebijakan tata ruang pesisir dengan memberikan ruang khusus untuk penyangga (buffer zone). Kebijakan coastal setback ini bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari limpasan langsung gelombang besar maupun angin badai. Kawasan penyangga ini bisa diperuntukkan sebagai kawasan mangrove, hutan produksi atau hutan pantai lainnya sehingga akan mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang penting bagi kesehatan ekosistem pesisir dan berbagai mata pencaharian masyarakat.
Konsep tata ruang yang terdapat di dalam blue print rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh sudah memasukkan konsep coastal setback. Tata ruang tersebut sebenarnya adalah tata ruang ideal dan seharusnya dilaksanakan di kawasan pesisir Aceh. Namun tentunya tidak semua yang ideal itu bisa diterapkan. Penetapan buffer zone mempunyai konsekuensi bahwa ruang tersebut harus bebas dari kegiatan konstruksi. Padahal banyak daerah yang akan dijadikan ruang penyangga merupakan kawasan pemukiman sebelum tsunami. Selain itu, keinginan sebagian korban untuk kembali ke rumahnya seperti sediakala. Pemerintah juga kesulitan untuk merelokasi penghuni pesisir korban tsunami ke tempat yang lebih aman karena alasan ketersediaan lahan dan dana. Kondisi ini memunculkan ide penataan desa yang menempatkan mitigasi tsunami sebagai pertimbangan. Village planning atau perencanaan desa menghasilkan sebuah tata desa sedemikian rupa sehingga apabila terjadi tsunami warga desa dapat menyelamatkan dirinya melalui jalan-jalan (escape route) yang mempermudah mencapai sebuah tempat yang aman (escape hill). Perencanaan desa ini mensyaratkan partisipasi aktif dari warga setempat. Terkadang warga harus mengorbankan sebagian tanahnya untuk membuat fasilitas umum seperti jalan dan drainase. Perencanaan desa yang menata sistem drainase, air bersih, penghijauan dan pengolahan sampah/limbah guna peningkatan kualitas hidup dan lingkungan desa mempunyai efek positif bagi kesehatan lingkungan pesisir karena pemukiman –sebagai salah satu sumber pencemaran perairan pesisir- akan lebih sedikit memberikan stress berupa polusi ke perairan pesisir.
Kiranya ke depan perlu dibuat sebuah peraturan daerah tentang tata ruang pesisir yang memasukkan prinsip coastal setback dalam pembangunan baru di wilayah pesisir. Sebagai contoh, Perancis mempunyai sebuah undang-undang pesisir -la loi littoral- yang melarang pembangunan dalam jarak 100 m dari bibir pantai kecuali bagi bangunan yang sudah ada sebelumnya atau untuk keperluan ilmu pengetahuan, industri pelabuhan dan militer . Pelarangan ini terkait dengan usaha reduksi tekanan terhadap lingkungan pesisir dari kegiatan manusia dan juga melindungi kegiatan manusia dari limpasan gelombang (storm surge) pada saat terjadi badai (tempĂȘte). Coastal setback atau penyangga juga diterapkan di beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Kepulauan Karibia. Disamping itu, penetapan beberapa kawasan konservasi pantai dan laut (Marine and Coastal Protected Areas) juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pesisir untuk perlindungan pantai dan mendukung kerberlanjutan perikanan.
Selain kebijakan tata ruang, kesiapan warga dan informasi yang diterima warga pesisir tentang bencana tsunami memainkan peran paling besar dalam mereduksi korban jiwa. Karena itu, sistem pendeteksian dini (early warning system) yang telah di set-up di Banda Aceh perlu dikembangkan lagi, misalnya peringatan tersebut dapat langsung diterima dari setiap telepon genggam (HP) warga dengan waktu cepat sehingga warga masih mempunyai waktu sebelum tsunami mencapai pantai.
Pengembangan ekonomi di kawasan pesisir tidak dapat dilepaskan dari pemulihan lingkungan. Sejak dulu lingkungan pesisir telah menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat setempat seperti nelayan dan petambak. Lingkungan pesisir Aceh yang rusak akibat tsunami harus dipulihkan. Selain kegiatan restorasi dan rehabilitasi mangrove dan terumbu karang, kegiatan-kegiatan yang memberikan tekanan (stress) bagi kedua ekosistem tersebut harus dihentikan sehingga laju pemulihannya lebih cepat. Pembangunan infrastruktur yang menghambat suplai air tawar ke kawasan penanaman kembali mangrove atau penebangan hutan yang meningkatkan sedimentasi di perairan pesisir harus dihentikan.
Perlu dicamkan bahwa pemulihan lingkungan atau terciptanya lingkungan pesisir yang sehat bukanlah tujuan akhir dari sebuah pengelolaan kawasan pesisir. Lingkungan merupakan sarana menuju tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat pesisir. Seringkali kemiskinan dan ketidaktahuan menjadi penyebab utama dari degradasi lingkungan. Diseminasi pengetahuan tentang nilai lingkungan dan dukungan finansial, manajemen serta pemasaran berbentuk koperasi usaha masyarakat yang bergerak di bidang penangkapan ikan karang hidup bernilai ekonomi tinggi atau peternakan lebah madu dan budidaya kepiting bakau tampaknya lebih menarik bagi masyarakat pesisir ketimbang meledakkan terumbu karang di Pulau Banyak dan menebang hutan bakau di Aceh Tamiang.